Membenahi Partai dengan Subsidi

Partai di Indonesia senantiasa membawa kontradiksi dan dilema. Di satu sisi, tidak ada demokrasi yang tidak memerlukan partai. Partai mengumpulkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Di sisi lain, partai di Indonesia identik dengan korupsi dan kepentingan. Berbagai survei menunjukkan bagaimana publik memandang partai bukan sebagai penyalur aspirasi tapi sarana sekelompok orang untuk meraih kekuasaan dan kekayaan. Tidak heran bila kemudian publik menolak subsidi negara kepada partai, seperti hibah 1 trilyun untuk partai atau dana aspirasi untuk anggota dewan.

Penolakan demikian bisa dimaklumi. Tapi sekedar menolak subsidi kepada partai juga bukan sikap yang produktif. Partai memerlukan biaya untuk melaksanakan fungsinya menjaring aspirasi dan melakukan kaderisasi. Bila partai tidak memiliki uang untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka pilihannya hanya mereka mengabaikan fungsi-fungsi itu atau mereka mencari sumber pendanaan lain yang bisa jadi ilegal. Persoalannya dengan demikian bukanlah apakah kita harus menolak atau menerima negara mensubsidi partai tapi bagaimana merancang sistem subsidi yang memungkinkan partai menjalankan fungsinya dan secara bersamaan mereformasi mereka untuk lebih transparan.

Untuk menemukan jawaban atas persoalan ini, dua karakteristik partai di Indonesia penting untuk kita pahami. Pertama, partai di Indonesia (dan dimanapun juga) peka terhadap insentif. Insentif paling umum adalah suara pemilih. Partai akan melakukan apapun untuk mendapatkan pemilih. Di negara dengan demokrasi lebih maju, partai menarik pemilih lewat program yang mereka jual. Persoalannya di Indonesia, partai menjual program yang sangat mirip satu sama lain. Akibatnya, program menjadi pertimbangan yang kurang penting bagi pemilih. Insentif kedua yang paling umum adalah insentif finansial. Kalaupun tidak bisa menarik pemilih dengan program-programnya, partai akan berusaha menarik donor atau sumber uang lain dengan janji-janji. Kebutuhan partai akan uang ini dapat menjadi jalan untuk mereformasi mereka.

Hal kedua tentang partai di Indonesia terkait dengan minimnya transparansi. Pengambilan keputusan di partai cenderung menjadi monopoli segelintir elit. Anggota partai tingkat bawah hampir tidak memilki suara apapun. Selain itu, partai juga tidak terbuka terkait keuangan. Kita tidak tahu berapa pemasukan mereka dan dari siapa. Kita juga tidak tahu kemana uang-uang itu dibelanjakan. Ketertutupan, kita tahu, adalah lahan subur korupsi.

Berdasarkan dua poin tersebut, kita dapat membangun sebuah paradigma baru terkait subsidi partai. Alih-alih memandang subsidi partai oleh negara sebagai hak partai seperti para elit sering sampaikan, kita bisa memandang subsidi sebagai hadiah (reward) untuk partai yang berhasil memenuhi syarat tertentu. Dengan demikian, partai termotivasi untuk memperbaiki diri demi mendapatkan insentif moneter dan negara juga tidak abai terhadap tantangan finansial yang dihadapi partai dalam menjalankan fungsi politiknya.

Setidaknya ada tiga area reformasi yang bisa dijalankan dengan strategi ini. Pertama, pemerintah bisa menjanjikan dana hibah kepada partai yang keuangannya transparan. Transparansi keuangan ini meliputi keterbukaan akses publik dan juga konfirmasi oleh auditor independen. Kedua, pemerintah juga dapat memberi insentif bagi partai yang memilih calon presidennya dengan konvensi terbuka yang melibatkan publik atau setidaknya anggota partai tingkat bawah. Insentif ini diharapkan mengurangi peran elit dan meningkatkan peran publik dalam pengambilan kebijakan partai. Terakhir, pemerintah dapat menyetujui dana aspirasi anggota dewan bila mereka memiliki laporan keuangan yang jelas dan teraudit oleh auditor independen. Laporan ini juga harus dapat diakses oleh publik sehingga memudahkan pengawasan oleh masyarakat di daerah asal anggota dewan bersangkutan. Sistemnya dengan demikian bukan memberikan uang kepada anggota dewan sebelum mereka menjaring aspirasi, tapi mengganti (reimburse) pengeluaran mereka sampai dengan batas tertentu. Hal ini, selain mendorong transparansi, juga mendorong anggota dewan untuk membatasi pengeluaran.

Pada prinsipnya, strategi-strategi ini memungkinkan kita menyeimbangkan dua tantangan. Kita tidak bisa abai terhadap partai karena kita butuh partai. Tapi kita juga tidak bisa memberi uang begitu saja kepada partai bila mereka senantiasa gagal menunjukkan bahwa mereka layak dipercaya. Titik tengahnya dengan demikian adalah mensubsidi partai sebagai penghargaan bila mereka sukses memperbaiki diri.(*)