Menjadi Golput adalah Sebuah Privilese

Banyak yang menyerang golput (mereka yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu) sebagai pengecut atau bodoh. Jelas salah kalau menyebut golput sebagai pengecut. Banyak golput di-bully karena pilihannya dan mereka tetap bergeming. Jadi jelas mereka bukan pengecut. Lagipula, untuk apa menghina orang karena pilihan politiknya? Masyarakat kita sudah lelah disuguhi kata-kata hinaan seperti cebong dan kampret. Tidak perlu menambahkan bodoh atau pengecut.

Lalu kenapa judul tulisannya “Menjadi Golput adalah Sebuah Privilese” kalau isinya membela golput? Karena bagi saya, golput bukan tentang jadi pemberani atau pengecut. Bukan pula tentang pintar atau bodoh. Golput adalah tentang privilese dan pemahaman demokrasi yang berorientasi kepada diri, kepentingan, dan idealisme kita sendiri.

Privilese Idealisme

Berada dalam posisi yang memungkinkan untuk menjadi golput adalah sebuah privilese. Sebuah hak istimewa. Kenapa? Karena kedua kandidat saat ini, Jokowi dan Prabowo, adalah dua orang yang berbeda. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, dari keluarga berbeda. Mereka bukan hasil membelah diri. Karena Jokowi dan Prabowo adalah individu yang berbeda, mereka pasti akan membawa kebijakan yang berbeda, sekecil apapun perbedaannya.

Mengatakan bahwa kedua kandidat ini tidak akan membawa perbedaan apapun sama dengan mendeklarasikan bahwa hidup kita sudah cukup mapan sehingga apapun dampak perbedaan kebijakan Jokowi dan Prabowo tidak akan mempengaruhi hidup kita. Mungkin benar. Tapi bagaimana dengan hidup orang lain?

Misal satu kandidat setelah terpilih berhasil menurunkan harga daging sebesar Rp2,000 dan kandidat yang lain berhasil menurunkan sebesar Rp1,000. Perbedaan itu mungkin sekedar recehan bagi kita yang sering minum kopi di waralaba gerai kopi internasional. Tapi recehan itu bisa berarti banyak bagi Pak Paijo penjual bakso atau Bu Maryam penjual ayam.

Dalam hal ini golput kemudian menjadi sebuah ironi para aktivis. Privilese adalah kunci dalam memahami ketidakadilan sosial. Privilese-lah yang membuat laki-laki digaji lebih tinggi dari perempuan. Privilese-lah yang membuat laki-laki boleh keluar malam-malam tanpa takut diciduk Satpol PP atau dianggap pekerja seks. Privilese-lah yang membuat penduduk pulau Jawa menikmati pembangunan yang hanya mampu diimpikan penduduk luar Jawa.

Menjadi ironis ketika privilese ditunjukkan oleh para aktivis yang sejatinya sangat peduli dengan ketidakadilan sosial. Ironis ketika para aktivis yang mawas dengan privilese di dalam diri orang atau kelompok lain gagal melihat bahwa menganggap kedua kandidat sama saja adalah juga sebuah privilese. Privilese untuk dapat hidup di dunia yang tidak terpengaruh apapun kebijakan yang diambil Jokowi atau Prabowo setelah terpilih. Privilese untuk fokus kepada idealisme yang bisa jadi terpisah dari realita hidup rakyat banyak yang fokus kepada hal-hal konkrit seperti harga beras, ongkos angkot, atau pungli kelurahan.

Menjadi idealis adalah sebuah privilese karena idealisme mensyaratkan pengetahuan. Ia adalah sebuah kemewahan berpikir. Tapi apa gunanya idealisme kalau ia justru memisahkan kita dari realita hidup orang banyak dan menjadikan kita elit intelektual?

Riset terbaru dari politik Amerika mengilustrasikan hal ini. Riset ini menunjukkan bagaimana aktivis progresif sering tidak mencerminkan massa akar rumput. Dari tahun 1960an pun riset opini publik sudah mengingatkan kita bahwa kebanyakan orang tidak memiliki pandangan politik yang konsisten dan ini sebagiannya karena mereka sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Waktu dan kemampuan untuk memikirkan politik adalah kemewahan yang tidak dimiliki banyak orang.

Politik yang Sosial

Privilese idealisme juga berefek ke alasan golput yang lain: golput berbasis prinsip. Beberapa golput menolak memilih salah satu kandidat karena apa yang kandidat itu lakukan (atau gagal lakukan) bertentangan dengan prinsip atau nilai yang mereka anut. Sebagian golput, misalnya, merasa bahwa Jokowi lebih baik dari Prabowo. Tapi pembiaran Jokowi terhadap pelanggaran kebebasan beragama membuat mereka merasa bersalah kalau harus memilihnya. Ada beban moral dalam memilih Jokowi karena dianggap sama dengan memaklumi persekusi minoritas. Sebagian golput lain mungkin merasa Prabowo lebih baik dari Jokowi tapi tidak dapat memilihnya karena pelanggaran HAM yang ia lakukan.

Mengingat dilema demikian adalah keniscayaan dalam politik, apa yang sebaiknya kita lakukan? Apa kita harus mengorbankan idealisme setiap kali nilai kita tidak terwakili oleh salah satu kandidat? Jawabnya tergantung cara kita memahami pemilu. Apakah kita memandang pemilu sebagai kesempatan memperjuangkan hanya nilai kita atau sebagai kesempatan memperjuangkan nilai yang lebih universal, sekalipun nilai tersebut bukan prioritas kita?

Kalaupun kita tidak bisa memilih salah satu kandidat tanpa merasa bersalah, akan selalu ada kelompok sosial lain yang juga memperjuangkan nilai mereka dan merasa nilainya terwakili oleh salah satu kandidat. Nilai yang diperjuangkan kelompok ini mungkin sejalan dengan nilai kita tapi kita menganggapnya kurang penting. Dalam hal ini kita tetap bisa mengambil perspektif mereka dan bertanya ke diri kita, “Untuk nilai ini, kandidat mana yang lebih baik?”

Pasti akan ada nilai di mana salah satu kandidat lebih baik dari yang lain. Setidaknya kalau kita tidak dapat memilih kandidat yang memperjuangkan nilai kita, kita tetap bisa membantu kelompok lain mendapatkan tujuan mereka terlebih dahulu. Politik tidak harus selalu tentang kepentingan kita atau apa yang kita nilai baik. Ia juga dapat menjadi sarana memperjuangkan kepentingan orang lain.

Golput, pada akhirnya, adalah hak. Adalah hak kita untuk meminta para kandidat untuk memperjuangkan kepentingan kita. Tapi ketika harapan itu tidak tercapai, cara kita bereaksi terhadap kekecewaan ini akan menunjukkan seberapa terikat kita dengan privilese kita. Apakah kita ingin membuat pemilu dan politik ini semuanya tentang kita―kepentingan kita, idealisme kita, aspirasi kita? Atau kita bersedia berkorban sedikit dan membuat pemilu ini lebih sosial dengan memperhatikan pula aspirasi kelompok lain yang mungkin menurut kita kurang penting tapi tetap sejalan dengan kita?

Sistem saat ini mungkin belum cukup inklusif dan terbuka untuk mengakomodasi idealisme kita. Tapi demokrasi adalah perubahan bertahap. Setiap kemajuan yang dicapai, seberapapun kecilnya, membuka peluang bagi perubahan yang lebih besar.

Pilihan kita saat pemilu nanti mungkin tidak akan berefek apapun untuk memujudkan apa yang kita mau. Tapi barangkali ia akan membawa bangsa ini sedikit saja lebih maju sehingga pada saatnya nanti―dua atau tiga generasi lagi―akan ada kandidat yang mampu mewujudkan mimpi itu.

Karena demokrasi pada hakikatnya adalah kerja sosial. Kerja untuk terwujudnya mimpi orang lain, bukan hanya mimpi kita sendiri. Kerja untuk masa depan, bukan hanya untuk saat ini.Selamat mencoblos, Indonesia.