Neraka Itu Mitos!

Ada tulisan menarik di Koran Tempo (18/12/2006) yang benar-benar mengilhami saya untuk menulis tulisan ini. Sebelumnya, saya post dulu tulisan dimaksud:

Senin, 18 Desember 2006
Ilmu dan Teknologi
Karena Sang Legenda Tak Benar-benar Sakti

Temuan obat yang langsung membungkam kerja “penghubung sodium” akan menjadi seperti mukjizat.

LONDON — Suatu hari di Pakistan sebelah utara. Seorang bocah laki-laki tepat berusia 14 tahun dan dia merayakan ulang tahunnya itu dengan naik ke atap rumah. Ia lalu melompat layaknya Superman dan bam, dia tewas seketika.

Sekelompok peneliti di Cambridge Institute for Medical Research lalu berbondong-bondong terbang dari Inggris. Mereka tertarik karena terjun bebas itu bukanlah aksi nekat pertama mendiang bocah itu. Kalau jasadnya diteliti, di lengannya jelas terlihat bekas luka tikaman pisau. Ia menusukkannya sendiri demi pertunjukan jalanan.

Ya, bocah itu memang pernah jadi legenda jalanan. Meski darah mengucur dan kerumunan penonton menarik napas dalam-dalam menahan ngeri, ia tersenyum. Di lain kesempatan, ia berjalan-jalan di atas bara api yang menyala-nyala. Sepasang telapak kakinya terbukti melepuh, tapi ia terus saja berjalan bolak-balik.

Saat ini perjalanan hidup legenda mungil itu tecermin pada enam sepupunya yang juga tak pernah kenal rasa sakit. Di sekujur tubuh mereka ramai luka bekas sayatan pisau dan cakar serta lidah yang putus karena digigit sendiri. Beberapa bahkan tulang-tulangnya patah tanpa pernah disadari.

Lewat uji dan perbandingan sampel DNA, terungkap bahwa keenam bocah yang berasal dari tiga keluarga itu memiliki kesamaan mutasi gen SCN9A pada sel sarafnya. Mutasi itu telah menggeser kemampuan para bocah itu untuk bisa merasakan sakit secara fisik.

Sejatinya gen SCN9A bertugas mengkodekan protein “penghubung sodium”, sebuah struktur yang memungkinkan muatan listrik mengalir menuju sel-sel saraf, memicu sinyal perasa sakit. Tanpa saluran penghubung itu, otak tidak akan pernah bisa menerima sinyal bahwa tubuh sedang tersakiti.

Akibatnya, “Keenam bocah tidak akan pernah merasa sakit, kapan pun, di bagian tubuh yang mana pun,” tutur Geoffrey Woods, ketua tim pakar dari Cambridge.

Hanya fisiknya yang kebal karena Woods mencatat, sehari-hari mereka semua hidup sangat normal. Mereka tertawa dan menangis serta sakit hati karena ditolak. Begitu juga dengan sensasi sentuhan, suhu, dan tekanan, yang bisa mereka rasakan.

“Bahkan tampilan dan kecerdasannya juga biasa saja,” ujar James Cox, rekan Woods.

Temuan sebuah gen tunggal yang mampu mengabaikan stimulan rasa sakit tanpa mempengaruhi sistem tubuh yang lainnya itu disambut gembira. Sudah terbayang di mata para pakar itu potensi baru menggantikan kebiasaan anastesi lokal yang tidak praktis dan konsumsi opioids, seperti morfin, yang bisa menyebabkan kecanduan.

“Mengutak-atik SCN9A, mungkin lewat terapi gen, bisa menolong pasien sakit berat karena luka parah, persendian, kondisi tulang belakang, atau kanker,” kata Woods.

Seperti diakui John Wood dari University College, London, temuan obat yang langsung membungkam kerja “penghubung sodium” akan menjadi seperti mukjizat. Begitu juga dengan potensi sebaliknya: mengobati ketidakmampuan sejak lahir mengalami rasa sakit. Diperkirakan ada 100 individu di dunia saat ini yang perlu pengobatan itu.

Kalau pakar farmasi bisa menemukan kembali pemicu yang bisa mengaktifkan kembali “penghubung sodium”, tentu mereka bisa berhenti menyakiti diri sendiri. Gigi-giginya tak perlu dibuang hanya karena khawatir akan digunakan untuk memutus lidahnya sendiri. Sepasang orang tua di Swedia mungkin juga bisa beristirahat sejenak mengawasi anaknya yang pernah memelintir kakinya sendiri.

Agak mengerikan, memang, membayangkan mengobati para bayi agar mereka bisa merasa sakit. Tapi dalam kasus bocah legenda jalanan di Pakistan, itu bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati. wuragil | nature | timesonline | theherald | bbc

Sejak umur 14 tahun saya tidak setuju dengan konsep tentang neraka yang ada di hampir semua agama. Pertama, konsep tersebut kontradiktif dengan gagasan tentang Tuhan yang Maha Baik. Kita mungkin dapat berargumen bahwa toh Tuhan sudah memberi kesempatan manusia terkait untuk mengubah diri di dunia. Bahkan Tuhan juga sudah bersusah-payah mengirim banyak nabi. Tapi semua argumen tersebut mentah ketika kita membandingkan antara ‘hidup di dunia’ dengan ‘keabadian neraka’.

Membandingkan sebuah rentang waktu sepanjang 70 tahun (atau taruhlah 150 tahun waktu hidup kita), dengan sebuah rentang waktu bernama keabadian yang kekal, benar-benar tidak sepadan. Akan terlihat jelas dalam gagasan itu, sosok Tuhan yang kejam dan brutal. Bagaimana tidak brutal? Ia selama-lamanya menempatkan seseorang dalam siksaan hanya karena kesalahan dalam 70 tahun hidupnya. Kalau mau dibandingkan, guru saya waktu SMA saja akan memberikan ujian2 perbaikan apabila nilai siswanya jelek, masak sih kebaikan Tuhan kalah dengan kebaikan guru saya.

Kedua, konsep tentang neraka benar-benar manusiawi. Bahkan ia terlalu manusiawi untuk gagasan tentang sesuatu yang adikodrati. Ia standar sekali. Neraka begitu ditakuti, dan ditempatkan sebagai sesuatu yang harus ditakuti karena ia mengandung hal yang paling tidak disukai manusia, penderitaan. Gambaran tentang neraka dalam berbagai agama mungkin saja berbeda, tapi intinya sama, neraka menyiksa dan membuat penghuninya menderita.

Nah dalam konteks gagasan kedua ini, saya menemukan suatu yang menarik dari artikel Koran Tempo. Bagaimana bila ternyata ‘orang2 normal’ adalah orang-orang seperti bocah 14 tahun yang tidak punya rasa sakit itu. Bagaimana bila manusia tidak memiliki rasa sakit? Dalam kasus demikian, saya yakin bahwa konsep neraka akan berbeda sekali dengan yang ada sekarang.

Karena manusia tidak memiliki rasa sakit secara fisik, maka neraka pasti tidak akan digambarkan sebagai tempat yang penuh siksaan. Siksaan tidak berguna lagi, dan sama sekali tidak menakutkan, karena manusia tidak memiliki rasa sakit. Sebaliknya, neraka mungkin akan digambarkan sebagai tempat yang ‘menyiksa secara mental’.

Disinilah saya menemukan unsur konstruksi sosial yang sangat besar dalam gagasan tentang neraka. Konsep tentang neraka ini dalam pandangan saya benar-benar bukan sesuatu yang Illahi. Ia hanya merupakan gagasan manusia untuk menumpahkan segala ketakutannya, kebenciannya. Bahkan neraka juga dapat dipandang sebagai dendam tak kasat mata manusia. Dalam penyiksaan abadi neraka, manusia memegang erat gagasan bahwa yang salah harus dihukum berat. Sama sekali tidak ada pengampunan dan cinta kasih. Neraka itu benar-benar racun manusia, ia menghancurkan kesadaran manusia, ia melegitimasi dendam dan kekerasan, dan ia membuat manusia selalu dihantui kekhawatiran.(Nathanael Gratias Sumaktoyo)