Tempat Ibadah Bau Kencing

(Tulisan ini sebelumnya dimuat di https://mojok.co/nng/esai/gereja-bau-kencing/)

Setiap ada acara di luar kota yang bertepatan dengan akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk ke gereja di tempat baru. Kebetulan di gereja Katolik tata ibadah dan segala macamnya sama di mana pun, jadi saya bisa bebas memilih gereja untuk ibadah. Minggu 3 September 2017 kemarin tidak beda. Karena ada conference di San Francisco (SF), California, saya pun mencari gereja Katolik di SF yang dekat dengan penginapan.

Dua tahun lalu, saat conference di kota ini juga, saya ke gereja Notre Dame Des Victoires. Kali ini saya putuskan untuk cari gereja lain. Setelah beberapa menit menelusuri Google Map, saya menemukan satu gereja yang hanya butuh 10 menit jalan kaki: Gereja St. Boniface. Saya putuskan untuk pergi ke ibadah pukul 7.30.

San Francisco kota yang relatif kotor untuk ukuran Amerika, dan mahal. Bau pesing yang menyengat bisa tercium di beberapa wilayah. Di trotoar-trotoar kota ini, cukup banyak homeless atau mereka yang tanpa tempat tinggal dan harus tidur di sleeping bag di pinggir jalan. Karena tanpa tempat tinggal, otomatis mereka juga tidak memiliki toilet. Biasanya untuk buang air kecil, mereka lakukan di botol yang kemudian dibuang di tempat sampah atau tempat lain. Untuk buang air besar? Terus terang saya tidak tahu, tapi rasanya lebih dari sekali saya melihat kotoran manusia di pinggir trotoar.

Tentu saja tidak tepat juga kalau menyebut SF kota tanpa keindahan. Ia punya Golden Gate dan pantai serta taman-taman yang cantik.

Minggu pagi itu, ketika berjalan ke gereja, saya pun menemukan beberapa homeless. Beberapa masih tidur dalam sleeping bag di emperan, beberapa sudah mengepak tasnya untuk pindah ke tempat lain, dan beberapa asyik bercengkerama dengan sesama homeless. Meskipun kadang terlihat menyeramkan, selama enam tahun di Amerika, saya tidak pernah punya pengalaman negatif atau menjadi korban perbuatan criminal oleh homeless. Anda bisa berjalan biasa melewati mereka tanpa diapa-apakan. Mereka pun umumnya sibuk dengan pekerjaan atau pikirannya sendiri dan akan mengabaikan Anda. Tentu saja, khas San Francisco, selama jalan kaki ke gereja itu pun saya senantiasa mencium bau pesing air kencing.

Sampai di gereja, saya masuk dan mencari tempat duduk. Sudah ada beberapa umat di sana. Saat itulah saya menyadari dua hal.

Pertama, cukup banyak homeless yang akan ikut ibadah. Anda bisa mengenali mereka dengan cukup mudah dari baju seadanya (baca: kumal dan tidak jarang robek) dan penampilan yang beda dari umat lain. Hal ini tentu saja beda dengan kondisi gereja (atau rumah ibadah) di Indonesia di mana umat selalu datang dengan rapi, wangi, dan perlente yang sekaligus menunjukan status sosial mereka.

Pada awalnya saya merasa sulit fokus karena kehadiran mereka, tapi lama-kelamaan jadi biasa juga. Siapa saya untuk menghakimi? Lagi pula, bisa jadi orang-orang ini datang ke rumah ibadah dengan motif yang lebih tulus untuk mencari Tuhan daripada kita kebanyakan yang barangkali pergi ke rumah ibadah karena tekanan sosial, cari pacar, atau berpidato politik.

Hal kedua yang saya sadari adalah gereja ini bau pesing! Sebenarnya tidak butuh lama untuk sadar. Begitu masuk juga sudah mulai tercium. Saya coba pikir. Jangan-jangan tadi waktu jalan menginjak air kencing, atau malah tembelek. Jangan-jangan orang depan saya yang menginjak air kencing. Atau jangan-jangan bau pesing karena para homeless yang ikut ibadah itu. Sulit untuk konsentrasi pada ibadah kalau otak Anda sibuk mikir kenapa tempat ibadahnya bau pesing.

Jawabannya akan diberikan oleh pastor (imam) kira-kira 20 menit setelah ibadah dimulai. Dalam khotbahnya, ia menjelaskan tentang sejarah gereja St. Boniface. Lebih penting lagi, ia juga bercerita bagaimana krisis homeless di SF berawal kira-kira 15 tahun lalu. Baginya, semua yang mengaku ber-Tuhan tidak bisa tinggal diam ketika melihat semakin banyak orang tinggal di jalan karena meroketnya biaya hidup. Karena itulah, ia bercerita, 15 tahun lalu Gereja St. Boniface memutuskan untuk mengijinkan para homeless tidur di bangku umat di dalam gereja mulai pukul 6 pagi sampai 3 sore, ketika mereka tidak bisa memakai trotoar untuk tidur. Saat ini, ada kira-kira 150 homeless yang rutin menggunakan gereja untuk tidur.

Si pastor memang tidak menyebut bau pesing, tapi saya jadi tahu alasannya gereja itu bau pesing. Ia bau pesing bukan karena pengurusnya malas membersihkan, bukan pula karena homeless yang tinggal di situ. Ia bau pesing karena imam dan jemaatnya percaya tidak mungkin mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan bila tidak mengasihi manusia yang kelihatan. Dan saat itulah saya merasa malu karena lebih tertarik mencari penyebab bau pesing daripada konsentrasi mengikuti ibadah.

Saya juga jadi sadar betapa nyamannya beribadah dan menjadi umat beragama di Indonesia. Entah karena kita percaya rumah ibadah adalah rumah Tuhan atau karena kita memerlukan monumen untuk ego kita, tempat ibadah kita cenderung besar-besar, bersih, dan wangi. Ada aturan tertulis maupun tidak tertulis tentang pakaian yang boleh kita pakai. Pakai baju tidak sesuai aturan? Kalau beruntung paling hanya dapat pandangan nyinyir, kalau sial bisa dilarang masuk.

Tidak hanya kekhusyukan beribadah, perasaan kita sebagai umat beragama pun dijaga. Tidak boleh ada yang menyakiti perasaan umat beragama (baca: kelompok yang mengatasnamakan agama). Kritik dilarang, pikiran kritis ditabukan. Resikonya berat, dari dikafirkan sampai masuk penjara.

Setelah ibadah, saya foto-foto dan keluar. Dari seberang jalan, dengan beberapa homeless di sekeliling saya, saya melihat gereja yang bau kencing itu lagi dan berpikir iseng.

Kita berusaha mati-matian membangun rumah yang indah untuk Tuhan dan menjaga perasaan-Nya dengan hukum, aturan, dan segala macam. Tapi, seandainya suatu saat Tuhan berkelana di bumi ini dan membutuhkan tempat tinggal, antara rumah ibadah yang wangi parfum dan rumah ibadah yang bau pesing seperti St. Boniface, kira-kira yang manakah yang akan Ia singgahi?