Terorisme dan Otoritas Agama

Dimuat dalam majalah mingguan HIDUP No.39, 20 September 2009

“That’s human nature. Nobody does anything until it’s too late.”
(Michael Crichton)

Bom Mega Kuningan adalah sebuah keterlambatan: pemerintah terlambat mengambil kebijakan, aparat terlambat mengantisipasi aksi, media terlambat menyuarakan kewaspadaan, dan masyarakat terlambat menyadari para teroris sungguh masih berkeliaran. Baru setelah teror terjadi dan korban berjatuhan-lah ide preventif mengemuka. Aparat menggagas pengawasan atas kelompok dengan cara berpakaian tertentu. Pengamat menyuarakan kesenjangan ekonomi sebagai akar terorisme. Lepas dari kelogisannya, dua pendapat itu lebih bersifat instan ketimbang komprehensif. Mencurigai seseorang berdasar pakaiannya adalah prasangka, kadang benar tapi lebih sering salah. Di sisi lain, mereduksi terorisme ke dalam aspek sosial-ekonomi menafikan aspek ideologinya..

Psikologi Radikalisme

Dengan membuka pikiran lebih lebar, kita dapat melihat bahwa kesamaan para radikalis bukanlah status ekonominya. Kesamaan mereka terletak dalam cara melihat dunia: hitam-putih, intoleran terhadap ambiguitas. Ramakhrisna (2004) menggunakan istilah individu abstrak dan individu konkret. Mengutip Ronald Johnson, ia menjelaskan individu abstrak melihat ‘apa yang mungkin (what could be)’ sementara individu konkret fokus pada ‘apa yang ada (what is)’.

Dalam masyarakat kolektifis seperti Indonesia, hasrat mencapai kepastian ini berkulminasi pada ketergantungan terhadap otoritas. Berbeda dengan masyarakat individualis dimana individu bersandar pada kemampuannya sendiri untuk memecahkan ketidakpastian, masyarakat kolektifis terokupasi pada pendapat lingkungannya. Hal ini menjadikan pemuka (agama maupun masyarakat) sebagai sosok berpengaruh. Pendapat pemuka kelompok, alih-alih dipandang sebagai masukan, justru dilihat sebagai kemutlakan.

Dalam konteks terorisme, kebersandaran pada pemimpin ini terlihat jelas. Kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) senantiasa menjunjung pemimpin yang dipandang mumpuni ilmu agamanya. Ketaatan itu semakin menguat saat para pengikut melihat bagaimana ayat-ayat suci disitir dengan fasih. Bagi teroris, setiap ayat yang disitir semakin meyakinkan mereka akan ketidakmungkinan pemimpinnya untuk salah.

Kekritisan Sebagai Kunci

Satu hal menarik dalam psikologi fundamentalisme di atas adalah generalitasnya. Ramakhrisna menemukan cara pikir simplistik itu pada JI sementara Bob Altemeyer melihatnya pada fundamentalis Kristen. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa fundamentalisme bukan sekedar cara berpakaian dan kesenjangan ekonomi. Fundamentalisme sebagian besarnya adalah masalah cara berpikir, karena itulah ia terkait dengan pendidikan

Setidaknya terdapat tiga aspek pendidikan kekritisan yang relevan dengan radikalisasi agama. Pertama adalah budaya kritik terhadap otoritas agama. Individu didorong untuk mengkritisi otoritas, dibantu untuk memahami bahwa otoritas bukanlah sosok tak-mungkin-salah. Kedua, individu didorong untuk mencoba hal-hal baru, membuka penafsiran terhadap teks selebar mungkin. Pendidikan bagaimanapun bertujuan untuk memerdekakan, bukan membatasi. Ketiga, individu didorong untuk mengenal dan bersentuhan langsung dengan seberagam mungkin orang. Sudah menjadi truisme bahwa semakin banyak dan luas interaksi seseorang semakin terbuka pula pikirannya (open-minded).

Peran Otoritas

Perubahan filosofi pendidikan demikian tidak mungkin terjadi tanpa dukungan otoritas agama. Pemuka-pemuka inilah yang akan menghadapi kehilangan pengaruh. Semakin kritis suatu masyarakat semakin ia tidak bersandar pada ketokohan. Pemuka-pemuka agama selayaknya menempatkan diri sebagai pembantu, alih-alih pembuat jalan. Mereka harus belajar menerapkan diskursus terbuka di sebanyak mungkin kesempatan: kegiatan keagamaan, pendidikan, maupun berbagai interaksi sosial lainnya. Mereka harus belajar percaya kepada proses dan kepada kemerdekaan tiap orang untuk memilih imannya.

Perihal kesediaan untuk tidak mendoktrin ini, penelitian Altemeyer memberi kita satu sindiran kecil. Ia menanyai dua kelompok responden (taat beragama dan ateis), apa yang akan mereka lakukan bila didatangi seorang anak yang sedang bingung memilih antara menjadi religius atau ateis. 98% responden religius menjawab akan mempengaruhi anak itu untuk memeluk agama mereka. Responden ateis, di sisi lain, 86% menjawab, “Saya akan menyarankan anak itu untuk membuka diri bagi sebanyak mungkin alternatif dan menentukan pilihannya sendiri.”