“Menegaskan Kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia”, begitulah judul tulisan ini. Apa yang ingin ditegaskan? Bukankah negara ini masih Negara Kesatuan berbentuk republik? Alih-alih mencerahkan, tulisan ini mungkin malahan berbau Orde Baru. Sentralisasi atas nama Negara Kesatuan. Benarkah begitu? Tidak!
Tulisan ini hanya bermaksud mengangkat sebuah fenomena. Di tengah situasi plural dan segala perbedaan bangsa ini, wacana untuk membentuk sebuah negara teokrasi ternyata
semakin mengental. Entah secara terang-terangan dijadikan sebagai tujuan organisasi, ataupun dengan cara yang lebih halus, fenomena ini merupakan hal nyata di negara kita.
Atas Nama Agama
Berbagai aksi atas nama agama bukan hal yang baru. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah kekerasan berdasar agama. Banyak kasus telah terjadi, dan tetap akan terjadi selama aparat kita tidak bertindak tegas. Perusakan tempat-tempat hiburan, penyerbuan Kedutaan Besar asing, penutupan paksa rumah-rumah ibadah, pengusiran warga Ahmadiyah, dan berbagai kasus anarkisme lain.
Beberapa ormas, tanpa rikuh dan dengan bangga, menyatakan diri sebagai pembela Tuhan, dan dengan demikian secara tiba-tiba memiliki legalitas untuk menghakimi. Hukum Negara diinjak-injak, dibuang ke tempat sampah. Hukum agama –dengan interpretasi pribadi- dikedepankan, dan dipaksakan penerapannya. Ketika melihat semua ini, yakinkah kita Indonesia tetap sebuah Negara Kesatuan? Yakinkah kita, bahwa UUD’45 tetap ada, dan dihargai? Bahwa Pancasila tetap dasar negara?
Kekerasan dan segala bentuk vandalisme atas nama agama bukan tidak mungkin dicegah. Sangat mungkin. Persoalannya adalah keberanian dan niat dari aparat keamanan. Mengatasnamakan Tuhan tidak berarti mewarisi kebenaran tunggal Illahi. Membawa nama agama tidak sama dengan mewakili seluruh umat agama bersangkutan. Satu hal yang dibutuhkan adalah keberanian. Keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menempatkan Undang-Undang di atas segalanya. Salut untuk aparat Polda Metro Jaya yang serius mendalami kasus penyerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Disintegrasi
Disintegrasi –bila tidak ingin menyebut konflik- adalah skenario terburuk dalam kasus penerapan hukum agama ini. Para pendiri negara, The Founding Fathers, secara bijaksana dan seksama telah mendalami potensi perpecahan ini. Solusi terbaik telah diberikan, Indonesia bukan teokrasi. Tidak memihak satu golongan tertentu, negara melindungi dan menerapkan hukum yang sama kepada warga negaranya.
Karena itu, sangat aneh apabila saat ini, beberapa kelompok menyuarakan aspirasi untuk menerapkan hukum agama tertentu. Wacana, bahkan pembentukan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan adalah salah satu contohnya. Negara menghormati segala bentuk keinginan warga negara untuk melaksanakan ajaran agamanya. Namun, tidak dapat dan tidak diperbolehkan oleh Konstitusi bila negara mengintervensi kehidupan beragama warganya. Dalam hal ini, hukum yang sama harus diterapkan bagi semua warga negara, dan hukum yang sama itu tentulah bukan hukum agama.
Negara ini akan terpecah-belah dengan mudah, jika saudara-saudara Muslim berniat menjalankan sendiri Syariat Islam, saudara-saudara Kristen menjalankan Hukum Kristen, saudara-saudara Hindu menjalankan Hukum Hindu, dan seterusnya. Jangankan atas nama agama, persilakan saja tiap-tiap propinsi menyusun sendiri Undang-Undangnya, dan dalam beberapa tahun Indonesia hanya tinggal kenangan.
Salah satu wacana paling mutakhir tentang potensi disintegrasi adalah RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi. Beberapa wilayah seperti Bali sudah dengan keras menyuarakan penolakannya. Sangat ironis apabila DPR tetap menutup telinga terhadap penolakan ini. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah kemungkinan RUU ini menjadi pintu masuk bagi Hukum Islam, seperti diutarakan R. Husna Mulya dari Komnas Perempuan.
Uniknya lagi, mereka yang kebakaran jenggot terhadap penolakan ini kemudian menawarkan solusi aneh. Muncul wacana bahwa RUU ini akan diterapkan di Indonesia, kecuali di wilayah Bali. Ini hal yang sangat konyol, mereka yang duduk di legislatif seharusnya melek konstitusi. Konstitusi Indonesia sama sekali tidak memungkinkan hal ini.
Melawan dengan Kesadaran
Arus reformasi tidak memungkinkan lagi penggunaan pasal-pasal subversif. Ini merupakan kemajuan besar bagi demokrasi. Semua pendapat haruslah dihargai dan ditempatkan secara semestinya, termasuk, dalam hal ini, wacana pembentukan teokrasi.
Kekerasan tidak menyelesaikan masalah, dan kekerasan juga tidak akan dapat memadamkan kekerasan. Kekerasan atas nama agama tentu saja patut dan wajib ditindak tegas. Namun, penyelesaian akar persoalan adalah prioritas utama.
Kemiskinan, kebodohan, maupun keputusasaan hidup mengambil peran yang tidak sedikit dalam pembentukan fundamentalisme. Akar persoalannya terletak pada sumber daya manusia. Pendekatan hukum harus terus berjalan, namun pendekatan sebagai manusia yang memiliki kesadaran harus ditempatkan lebih tinggi.
Pendidikan yang baik akan berperan besar. Pendidikan yang mengajarkan kebersamaan dalam perbedaan. Pendidikan yang mengajarkan nasionalisme dalam konteks intelektualitas. Diskusi dan seminar-seminar tentang pluralisme dalam konteks NKRI akan sangat berarti dalam membentuk persepsi yang benar tentang perbedaan dan menghargai perbedaan.
Manusia Indonesia memang berbeda satu sama lain. Setiap orang memiliki karakternya masing-masing. Perbedaan suku, agama, ras, maupun warna kulit menambah panjang daftar perbedaan itu. Namun kita masih bisa bersatu dalam sebuah negara bernama Indonesia. Bersatu dan saling menghargai, tanpa ada yang superior sementara yang lain inferior. Perbedaan itu indah, dan itulah yang mewarnai hidup. Lupakan perbedaan suku, agama, maupun identitas kelompok. Lupakan konsep teokrasi atau negara agama, kita semua bisa bersatu dan saling melengkapi di dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.