Nathanael Gratias Sumaktoyo's Blog

RUU APP, Konstelasi Politik, dan Yang Tersembunyi

Jika diumpamakan seorang selebritis, RUU APP pastilah seorang super star. Hampir tidak ada orang yang tidak pernah mendengar namanya. Namun, diantara banyak orang yang pernah/sering mendengar kata tersebut, beberapa mungkin masih bertanya-tanya, seperti apakah RUU APP itu?

Banyak pihak menyatakan diri kontra, beberapa yang lain menyatakan pro. Dibalik semua itu, tidak bisa dipungkiri adanya kecenderungan sikap ikut-ikutan. Kontra karena temannya seorang penolak RUU APP, atau pro karena temannya pendukung setia RUU ini. Bukan sikap ikut-ikutan yang ingin dicari disini, tetapi kesadaran. Kesadaran untuk menolak dengan tegas sesuatu yang tidak benar, yang merendahkan kemanusiaan, merendahkan perempuan, serta mengancam keutuhan bangsa dan negara.

RUU APP bukan wacana baru dalam perundang-perundangan negara ini. Ia juga bukan RUU yang baru disusun. RUU ini sudah disusun lebih dari 3 tahun yang lalu, oleh pihak pemerintah. Namun gaungnya tidak sekeras sekarang. Bahkan hingga pertengahan tahun 2005, RUU ini dapat dikatakan hilang dari peredaran, dalam artian tidak mendapat publikasi berarti.

RUU ini menemukan kembali popularitasnya ketika penyusunan Program Legislasi Nasional DPR Periode 2004-2009. PBB, PKS, dan PPP mendesak agar RUU ini dijadikan prioritas. Akhirnya pada Juni 2005, RUU ini menjadi Usul Inisiatif DPR dengan tanda-tangan 30 pengusul (dari minimal 13 tanda-tangan).

Mengapa RUU ini bermasalah
Bukan perkara yang sulit untuk menemukan beberapa kelemahan substansial dari RUU ini. Berikut akan diberikan beberapa alasan:
1. Mengatas-namakan Tuhan
Sebagai sebuah negara hukum, sudah selayaknya semua produk hukum yang dihasilkan berakar pada ideologi dan Dasar Negara, dalam hal ini Pancasila.
Namun, RUU ini justru mengungkapkan secara nyata bahwa peran Tuhan (dengan segala interpretasinya) dikedepankan sebagai sumber sebuah hukum negara.

Berikut kutipan Bagian Umum Penjelasan RUU APP: “Negara Indonesia adalah negara yang menganut faham Pancasila…—cutted– Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa Indonesia meyakini bahwa Tuhan melarang sikap dan tindakan a-sosial, a-susila, dan a-moral dalam kehidupan seks, seperti pelecehan, perselingkuhan, kekerasan seks, penyimpangan seks, dan penyebarluasan gagasangagasan tentang seks, karena dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat –cutted– Tindakan semacam itu juga dianggap menunjukkan sikap menentang kekuasaan Tuhan. “

Pertanyaan yang timbul adalah, mengapa harus membawa-bawa nama Tuhan? Sekalipun manusia menentang kekuasaan Tuhan, itu bukan hak dan kewajiban negara untuk mengurusinya. Negara berkaitan dengan ruang publik, Tuhan adalah ruang privat.
2. Merendahkan Budaya Bangsa Sendiri
RUU ini dibuat dengan argumen melindungi tatanan masyarakat. Tapi nyatanya, ia malah menganggap budaya bangsa sendiri sebagai porno. Kemben, koteka, tradisi mandi di sungai, relief di candi-candi semuanya dianggap porno oleh RUU ini.
3. Kesempatan Bertindak Subjektif
Pasal 25: “…dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.“ Penjelasan Pasal 4: “…yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.“

Penggunaan kata ’antara lain’ pada penjelasan Pasal 4 mengindikasikan bahwa diperbolehkan untuk menambahkan bagian tubuh lain ke dalam kategori sensual. Ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hukum akan dipermainkan oleh penguasa.
4. Diskriminatif
Contoh bagi hal ini dapat dilihat dalam pendefinisian ’bagian tubuh tertentu yang sensual’ seperti pada penjelasan Pasal 4 di atas. Ketika menyebut ‘alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar’ RUU ini tidak memperhatikan perbedaan jenis kelamin. Namun, ketika menyebut payudara, yang dimaksud adalah payudara perempuan. Terjadi diskriminasi gender pada pasal ini.

Pasal 28 UUD 1945 menyatakan sebuah produk hukum tidak dapat bersikap diskriminatif. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif Konstitusi, RUU ini sama sekali tidak layak diundangkan.
5. Hukum berbasis pikiran ngeres
Beberapa pasal dalam RUU ini justru menunjukkan bahwa para penyusunnya memiliki pikiran yang ngeres, atau melegalisasi pikiran ngeres sebagai dasar hukum. Salah satu contohnya adalah Penjelasan Pasal 28.

Pasal 28 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang dilarang menari erotis atau bergoyang erotis di muka umum.” Penjelasan Pasal 28 berbunyi: “…Sedangkan yang dimaksud bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari, dan lebih menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi.” Sekali lagi, siapakah yang akan ‘menduga’ gerakan tersebut bertujuan merangsang nafsu birahi? Tentu saja mereka yang berpikiran ngeres.

Konstelasi Politik
Saat ini di DPR (Pansus) hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menyatakan dengan tegas penolakannya. Fraksi lain ada yang menyatakan mutlak mendukung (F-PKS), atau belum menyatakan sikap. Melihat posisi politik partai-partai yang ada, tampaknya sikap pesimis tidak salah untuk ditunjukkan, paling tidak untuk proses dalam parlemen.

Namun sikap pesimis tidak akan mengubah apapun. Satu-satunya hal yang dapat mengubah keadaan adalah penggalangan opini dan resistensi publik. Jika kita tidak bisa mengubah sikap pihak yang pro RUU, setidaknya kita harus memaksa mereka berpikir lagi, lagi, dan lagi. Berpikir akan dampak dan perlawanan yang akan terjadi. Bali adalah contoh yang baik untuk hal ini.

Demonstrasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat, baik pro ataupun kontra, juga menunjukkan betapa RUU ini menyangkut semua pihak. Bahkan MUI pun sampai membentuk Desk Pengawal RUU APP. Ada yang aneh disini, jika memang ingin menyusun produk hukum yang mengatur pornografi, kenapa tidak terbuka akan kritik yang diberikan. Jika kritik yang membangun pun ditolak mentah-mentah, bahkan sampai melakukan ancaman-ancaman, wajar dan tidak salah, jika kemudian masyarakat bertanya-tanya, “Adakah yang disembunyikan?“

Adakah yang tersembunyi?
Pertanyaan “Adakah yang tersembunyi?“ ini tentunya layak kita ajukan. Salah satunya, dan yang –menurut saya- terpenting adalah kekhawatiran akan masuknya Hukum Agama, dalam hal ini Islam. Sebenarnya bukan hanya Islam, bahkan Hukum Gereja, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu pun, jika masuk ke dalam sistem negara dan sampai mengatur cara berpakaian dan memaksakan moral, tentunya harus kita tolak.

Kecenderungan aksi massa yang terjadi juga mengisyaratkan kenyataan ini. Pihak Pro RUU APP, hampir dapat dipastikan berasal dari ormas Islam yang dikenal radikal atau berjuang untuk menegakkan Syariat Islam, seperti FPI, MMI, HTI, dll. Pihak kontra –tanpa bermaksud melebih-lebihkan— jelas lebih majemuk dan terdiri dari beragam golongan/kelompok..

Ini bukan tentang membenci suatu agama atau golongan. Ini adalah tentang keberagaman yang menjadi sendi negara ini. Jika keberagaman Indonesia ditolak mentah-mentah, dan suatu monokultur ditegakkan, siapakah yang yakin bahwa negara ini akan menjadi lebih baik?

Terakhir, ada satu ungkapan menarik dari Satria Naradha (tokoh Bali), sesuatu tentang nasionalisme sejati. “If Jakarta and Aceh want to betray the republic (by supressing religious freedom and multiculturalism) then we will let them go (from the republic). Bali will not go away, we will fight to keep this nation as a nation that respect religious freedom and celebrate multiculturalism.”

Dare you join the fight?

Exit mobile version