“Manusia terus berkembang. Begitu juga otak mereka. Dulu, kebutuhan
manusia akan Tuhan sangat besar, tapi seiring dengan ditemukannya
sains dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, ruang–ruang buat
Tuhan semakin kecil.Orang-orang dulu mengatakan bahwa petir itu ciptaan Allah, tapi dengan
sains kita diyakinkan bahwa petir adalah sebuah proses alam belaka
akibat perbedaan muatan listrik antara awan dan bumi.Orang-orang dulu meyakini bahwa penyakit kusta, cacar, dan wabah
lainnya, adalah kutukan Allah. Tapi ilmu kedokteran menjelaskan semua
itu secara ilmiah dengan tanpa campur-tangan alam gaib.Banyak misteri dalam alam-semesta itu terkuak berkat sains dan ilmu
pengetahuan. Para filsuf menamakan tuhan yang seperti itu sebagai
“Tuhan ruang kosong” (god of the gap). Ketika sebuah fenomena alam
terasa misterius, Tuhan digunakan di sana untuk menjelaskan. Namun,
ketika sains mampu menjelaskannya, Tuhan itu hilang, mencari ruang
kosong yang lain untuk dihuni.” (Lutfi Assyaukanie)
“Tuhan ruang kosong”, saya begitu terkesima begitu mendengar kalimat itu. Rasanya, Tuhan memang hanya hidup dalam ruang kosong, ruang mitos manusia.
Saya teringat cerita tentang menara Babel. Diceritakan orang-orang Babel berencana membuat menara yang tinggi sampai ke langit untuk melihat Tuhan. Sayangnya, Tuhan keburu tahu rencana itu. Entah karena tidak ingin tempat tinggalnya diketahui orang, atau tidak senang dengan kesombongan orang-orang Babel, Tuhan memutuskan ‘berbuat sesuatu’ untuk menggagalkan pembangunan menara itu.
Sesuatu itu bukan berupa angin ribut atau gempa bumi, tapi dengan membuat orang-orang itu berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda. Karena tidak saling mengerti, jadilah mereka tidak bisa membangun menara. Tempat tinggal Tuhan terselamatkan.
Untuk ribuan tahun konsep Tuhan yang tinggal di langit melekat dalam benak manusia. Tidak ada yang pernah melihat langit, tidak pernah ada yang tahu apa yang ada di atas awan. Karena tidak ada yang tahu itu, Tuhan ditempatkan disana.
Sayangnya, Tuhan kemudian harus pindah rumah ketika Yuri Gagarin pergi ke angkasa luar dan melaporkan, “Tidak ada Tuhan disini”. Bisa dibayangkan, betapa kebakaran jenggotnya kaum konservatif yang memegang teguh keberadaan Tuhan di ‘atas sana’.
Selanjutnya, untuk menjaga kebenaran keberadaan Tuhan di ‘atas sana’, beberapa orang membuat klaim bahwa apa yang dicapai Yuri belum seberapa. Itulah sebabnya ia tidak menemukan Tuhan di tempat tinggalnya. Tuhan ada di tempat yang jauh dari bumi. Yuri tidak bisa menemukannya sebab ia kurang jauh berkelana.Klaim yang tidak begitu buruk. Setidaknya, manusia telah berusaha keras menyelamatkan image Tuhan agar tetap tidak terjamah dan kediamannya tidak tercapai.
Tapi, sayangnya klaim itu pun harus mentah ketika tahun 2004 Teleskop Hubble memotret galaksi dan….tidak menemukan Tuhan berpose di rumah mewahnya.
Mau dikemanakan lagi Tuhan? dibuatkan rumah dimana lagi? lebih jauh lagi tidak mungkin, sebab toh suatu saat akan dicapai juga oleh manusia.
Ternyata kemajuan sains telah membawa kemajuan dalam iman juga. Tuhan justru dibawa dekat kepada manusia, ke dalam hati. Kebetulan menakjubkannya adalah, hati seringkali menjadi ruang kosong manusia yang tidak tersentuh. Sedemikian kosongnya sehingga kita tidak tahu Siapa yang ada didalamnya. (Nathanael Gratias Sumaktoyo)