“Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu“ (Matius 22:37)
Perintah pertama dan terutama itu menjadi sangat penting, karena bahkan Yesus sendiri yang menyatakannya. Apa pentingnya perintah itu, sehingga bukan nabi yang mengatakannya, tapi Yesus? Adakah sesuatu yang tersembunyi, tersirat dalam kata-kata itu? Apa pentingnya kalimat itu dalam pencarian iman seorang Kristiani?
Tentu saja tulisan ini tidak akan mampu memberikan penjelasan yang sempurna. Atau, jangankan sempurna, apa yang ditulis disini barangkali sudah menjadi klise yang sering Anda dengar. Karena keterbatasan itulah, dan secara khusus karena ketertarikan saya, tulisan ini akan fokus hanya pada ”Kasihilah Tuhan, Allahmu……dengan segenap akal budimu.”
Apa yang membuat akal budi tidak boleh terlewatkan dalam cinta kita kepada Tuhan? Kenapa hati dan jiwa saja -barangkali- tidak cukup?
Manusia selalu mencari Allah. Mencari Yang Lebih Tinggi dari dirinya. Ada yang mencarinya untuk dipuja, ada yang mencarinya untuk dijadikan pelarian dari nasib sial, namun ada pula yang mencarinya sebagai tujuan utama dari hidup ini. Menempatkan Allah dalam kapasitas tujuan utama sama dengan mengatakan: ”Dia-lah kemana aku akan pergi setelah mati.” Bukan surga atau neraka yang menjadi tujuan setelah kematian, tapi Allah. Karena di dalam Allah adalah kedamaian, berarti surga dan di luar Allah adalah ketidak-damaian yang adalah neraka.
Uniknya, entah apa tujuan pencarian Allah itu dan bagaimana bentuk komunitas perdananya, seiring waktu pasti akan terbentuk suatu struktur (formal atau informal). Dan dalam struktur itu akan tampil orang-orang yang posisinya ’setingkat lebih tinggi’. Mereka yang disebut pemuka. Seiring waktu pula, akan terbentuk ajaran-ajaran yang dianggap paten. Dogma yang dibangun dari tradisi dan interpretasi atas Kitab Suci.
Seringkali disinilah persoalannya. Dogma dan tradisi sama sekali tidak menghalangi hati dan jiwa kita untuk mencintai Tuhan. Namun, dogma dapat membelenggu akal budi untuk mencari Tuhan. Dogma didesain untuk menjawab semua pertanyaan iman, sehingga -diusahakan- tidak meninggalkan sedikit pun keraguan. Tentu saja ini tidak sepenuhnya salah, karena di jaman ini dimana agama-agama bersaing satu sama lain, agama tanpa dogma hanya akan menjadi bahan tertawaan. Pun, dogma tidak terelakkan ketika kita berbicara tentang perkembangan komunitas iman, sejarahnya, tantangannya, dan tradisi yang dijalani.
Masalah pokoknya bukan pada dogma itu, tapi pada seberapa besar dogma itu berpengaruh pada pencarian iman kita. Di antara sekian banyak kekuatan dogma, satu yang memiliki daya getar paling besar adalah kekuatan untuk menimbulkan rasa takut. Jaman dulu orang mungkin takut dengan inkuisisi atau tindak kekerasan sebagai hukuman atas pelanggaran dogma. Sekarang jaman telah berubah, namun dogma tetap kuat karena masih memegang kuasa menentukan dan menjatuhkan vonis ’dosa’. Tentu saja dogma-dosa ini bukan eksklusif kekristenan, tapi hampir semua agama dan kepercayaan.
Mencintai Tuhan dengan segenap akal budi berarti mencintai Dia dengan segenap kemampuan kita untuk berpikir sendiri. Mencintai Dia dengan apa yang kita pikirkan tentang Dia secara bebas. Berpikir secara bebas, berarti berpikir tanpa rasa takut. Termasuk dan terutama rasa takut akan dosa. Rasa takut akan dosa ini penting karena bukan tidak mungkin apa yang kita temukan dalam pencarian bertentangan dengan apa yang telah diajarkan pada kita sebelumnya. Bertentangan dengan dogma atau keyakinan ajaran agama kita. Dan sama seperti semua penentangan terhadap sesuatu yang diyakini banyak orang, yang akan kita dapat selalu resistensi dan vonis dosa.
Tentu saja dengan tulisan ini saya tidak bermaksud mengompor-ngompori Anda untuk menolak dogma. Bukan kapasitas saya, dan bukan sesuatu yang prioritas bagi saya. Saya juga tidak tertarik untuk mengajak Anda kepada sebuah reformasi gereja, baik struktural maupun kultural.
Hal penting disini adalah, tidak penting apakah kita orang bodoh atau orang pintar, orang berdosa atau tidak, selama kita mencari tanpa rasa takut, tidak ada yang tidak akan dibukakan. Bukan dogma, bukan tradisi, bukan ajaran yang mampu membuat kita mencintai Dia dengan segenap akal budi. Hanya diri kita, pikiran kita, pencarian kita dan semua usaha kita untuk menemukan Dia yang merupakan bentuk cinta akal budi kita.
Rasa takut selayaknya tidak mendapat tempat, karena bukankah Dia baik? Bila Dia baik, dan kita meyakini Dia baik, maka semua rasa takut pastilah datang dari sesama kita. Ketakutan akan vonis dosa, ketakutan dikucilkan, atau ketakutan dicemooh. Dan akhirnya, tidak ada yang diberikan oleh rasa takut kecuali hilangnya kesempatan kita untuk mencintai Dia Yang Baik dengan segenap akal budi kita.
(Nathanael Gratias Sumaktoyo)