Yang Maha Adil, Neraka, dan Penyesalan Diri

Bukan terobsesi dengan neraka bila saya menulis tentangnya untuk kali kedua. Bukan juga karena saya bercita-cita pergi ke sana, toh saya tidak menganggap tempat penuh amarah seperti itu benar-benar ada. Tapi karena neraka ini, yang dijunjung sebagai bukti keadilan tuhan, justru menunjukkan bahwa banyak dari keyakinan kita tentang tuhan, kebesaran, dan gelar-gelarnya yang penuh dengan ’maha’ itu, tidak pernah lebih dari warisan orang tua ke anak dan dogma dari berbagai kitab.

Perihnya lagi, dibalik warisan-warisan yang tidak pernah kita pertanyakan itu, kita menyembunyikan kebencian atas para pendosa dengan konsep hukuman tuhan. Pun, kita menyembunyikan kenyataan bahwa pada akhirnya untuk setiap perbuatan baik, tujuan akhirnya adalah keinginan untuk menyelamatkan dan meraih kesenangan diri sendiri. Bahasa populernya, masuk surga.

Tuhan Maha Adil?
Saya selalu ingin tahu, tuhan yang maha adil, tuhan seperti apakah ia? Jika tuhan maha adil, maka tentulah ia harus menciptakan surga-neraka dalam persepsi umum. Suatu ukuran kebaikan tertentu ditetapkan, kesalahan tiap-tiap orang dihitung dengan teliti. Mereka yang kesalahannya kurang dari standar baku digolongkan sebagai orang baik dan dibawa ke surga yang penuh dengan kesenangan. Sebaliknya, mereka yang kesalahannya melebihi standar dianggap orang jahat dan ditempatkan dalam neraka penuh penyiksaan abadi.

Selanjutnya, tuhan yang maha adil haruslah tidak pernah berbuat tidak adil. Sekali ia tidak adil, maka atribut ’maha’ tidak layak lagi disematkan. Terkait dengan ketidakadilan ini, kita dengan terpaksa harus meninjau ulang konsep takdir. Tentu saja bagi mereka yang percaya adanya takdir.

Jika sebagian orang diciptakan untuk menjadi orang jahat, dan sebagian lain menjadi orang baik, sebuah keadilankah itu? Atau konkretnya, untuk sekedar mengambil contoh dari teologi Kristiani, apakah seorang Yudas Iskariot dilahirkan memang untuk mengkhianati Yesus? Jika jawabannya adalah ya, maka jelas sekali tuhan orang kristen bukan tuhan yang adil. Atau jika ingin lebih jauh lagi, dalam kasus demikian, tuhan orang kristen sama sekali bukan tuhan yang baik. Dalam generalisasi, untuk mengatakan tuhan adalah adil, haruslah tidak ada takdir. Keadilan tuhan dan takdir adalah dua hal yang tidak bisa ada secara bersamaan.

Ketiga, kemaha-adilan tuhan menuntut tingkat toleransi nol terhadap kesalahan (dosa). Dalam artian lain, seharusnya tidak ada konsep pengampunan dosa. Pengampunan atas dosa sangat mencederai rasa keadilan dari korban (bila ada). Sekalipun tidak ada korban, pengampunan dosa tetap mencederai rasa keadilan dari mereka yang telah berusaha keras tidak berbuat dosa tersebut. Untuk ini, para pemeluk agama yang taat tampaknya harus belajar banyak pada orang Yunani kuno, yang menggambarkan Dewi Keadilan dengan mata tertutup. Hanya untuk menyadari kelucuan bahwa ketika kita menyematkan predikat maha adil pada tuhan, di sisi lain kita meminta dia bertindak tidak adil dengan mengampuni dosa kita.

Apa selanjutnya?
Biasanya, setiap kali saya menulis tentang neraka (atau surga), selalu saja ada yang protes. Kebanyakan protes itu berdasarkan asumsi pembaca yang mengira saya tidak percaya ada ’sesuatu’ (kehidupan, mungkin) setelah kematian. Wow! Konklusi dan generalisasi yang luar biasa, saya pikir. Sayangnya, konklusi itu lebih mirip vonis daripada kesimpulan. Karena saya tidak pernah berkata tidak ada ’sesuatu’ setelah kita mati. Saya hanya meyakini, bahwa sesuatu itu haruslah tidak seperti yang ada dalam benak kita selama ini, reward and punishment.

Lalu seperti apa sesuatu itu? Barangkali untuk mencari ilham, ada baiknya kita membaca buku Michael Newton, Journey of Souls. Bukan karena akan menemukan jawaban disana, toh saya juga baru membaca review-nya. Tapi karena dalam buku itu ada ide yang sangat menarik, yang kebetulan saja sama dengan gagasan surga-neraka yang saya coba rangkai selama ini.

Pertama, konsep pengadilan setelah mati. Gagasan umumnya adalah kita diadili berdasarkan apa yang kita buat. Tapi Newton, yang menyusun buku ini berdasarkan studi kasus regresi kehidupan pasien-pasiennya, menemukan bahwa tidak ada pengadilan. Tidak ada yang diadili, tidak ada yang mengadili. Adalah jiwa kita sendiri, yang merasa bersalah atas kesalahan-kesalahan kita. Jiwa kita mengadili diri sendiri. Tak ada yang disembunyikan, bukan karena semua perbuatan kita dicatat oleh ’polisi surga’, tapi karena jiwa itu sendiri tidak dapat menyembunyikannya.

Salah satu poin terpenting Newton adalah jiwa kita pada dasarnya suci. Adapun segala tindakan tidak baik semasa di dunia merupakan akibat dari pengaruh lingkungan dan ego. Poin kesucian jiwa inilah yang menjelaskan mengapa jiwa tidak saling menutupi kesalahan.

Kedua, dan menurut saya paling menarik, penemuan Newton tentang neraka. Ia meyakini bahwa neraka tidaklah seperti yang digambarkan selama ini. Menurutnya, neraka lebih menyerupai suatu tempat permenungan, di mana jiwa merasa sangat bersalah atas kesalahannya.

Poin inilah yang membawa saya kepada pikiran, bahwa kita memerlukan Tuhan yang Baik, bukan Tuhan yang Adil. Tuhan yang Adil akan menghukum yang bersalah, dan mekanisme yang terjadi adalah penghukuman. Tuhan yang Baik akan membawa penyesalan atas kesalahan. Tidak ada penghukuman, karena penyesalan adalah hukuman terbesar. Mekanisme yang bekerja adalah self-punishment.

Di dunia kita membutuhkan keadilan, sebuah mekanisme yang mendasarkan pada hukuman bagi yang bersalah. Itulah sebabnya, kita memiliki hukum. Tapi untuk apa konsep seperti itu setelah kematian? Kita akan berhadap-hadapan dengan Dia yang Baik, yang tidak pernah mengecewakan, dan yang adalah Cinta. Tanpa hukuman pun, kita sudah akan merasa sangat bersalah. Sangat menyakitkan, ketika kita menyadari –dan tidak bisa memungkirinya- kita telah menyakiti yang mencintai kita. Menyakiti Dia yang mencintai tanpa syarat.

Setelah permenungan, selanjutnya apa? Studi kasus Newton menemukan, setelah permenungan adalah perbaikan. Kesempatan untuk memperbaiki (menebus, mungkin) kekeliruan. Misalnya, seorang yang semasa hidup menganiaya gadis kecil dapat memilih untuk menjalani hidup kembali sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan penuh kekerasan. Hal yang menarik adalah, pilihan seperti apa hidup selanjutnya sepenuhnya hak sang jiwa. Bahkan Tuhan tidak mengintervensi pilihan tersebut.

Di Surga
Pertanyaan pentingnya bukan tentang siapkah kita mati, atau seberapa baik hidup kita sehingga tidak mengalami penyesalan/perasaan bersalah. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh kita mengharapkan Tuhan menghukum mereka yang jahat? Seringkali kita menginginkan hukuman bagi mereka yang –kita anggap- hidup dalam dosa. Banyak argumen yang bisa kita keluarkan, tapi tidak ada yang lebih logis dari: ”hey Tuhan, aku sudah hidup baik dan menuruti perintahMu. Kenapa Engkau menempatkan aku di tempat yang sama dengan pendosa ini? Bukankah dia seharusnya ada di neraka!”

Bila memang pada akhirnya, semua jiwa akan masuk ke dalam surga. Siapkah kita menemukan diri kita berdampingan dengan seorang –yang kita anggap- pendosa, yang kualitas hidupnya jauh di bawah kualitas hidup kita? Jika Tuhan saja sanggup menerima seorang pendosa dalam surgaNya, kenapa kita harus bersikap seperti pertapa tua dalam kisah Anthonny de Mello ini:

” Pada suatu hari waktu Tuhan masuk ke dalam surga, Ia heran bahwa semua orang sudah berada di sana. Tak seorang pun dimasukkan ke dalam neraka. Ini merisaukanNya, karena bukankah Tuhan harus adil? Dan untuk apa neraka itu diciptakan, jika tidak dipakai?

Maka Ia berkata kepada Malaikat Gabriel:”Panggil semua orang ke hadapan tahtaKu dan bacakan Sepuluh PerintahKu!”

Semua orang dipanggil. Malaikat Gabriel membaca perintah yang pertama. Lalu Tuhan bersabda: ”Semua yang pernah berdosa melawan perintah ini, harus segera turun ke neraka!” Sejumlah orang mengundurkan diri dan dengan sedih pergi ke neraka.

Hal yang sama terjadi pula sesudah perintah yang kedua dibaca….begitu pula dengan yang ketiga..keempat..kelimat…Pada waktu itu penghuni surga sudah jauh berkurang. Sesudah perintah keenam dibaca, semua orang telah pergi ke neraka kecuali seorang pertapa yang gemuk, tua, dan botak.

Tuhan melihatnya dan berkata kepada Malaikat Gabriel: ”Inikah satu-satunya yang masih tinggal di surga?”

”Ya,” sembah Malaikat Gabriel.

”Wah,” kata Tuhan, ”suasana di sini menjadi agak sepi, bukan? Suruhlah mereka semua kembali ke surga!”

Ketika pertapa tua yang gemuk, tua, dan botak itu mendengar bahwa semua orang akan mendapat pengampunan, ia naik pitam. Dan ia menggugat Tuhan:”Ini tidak adil!! Mengapa dulu hal ini tidak Tuhan katakan kepadaku??”” (Nathanael Gratias Sumaktoyo)