Apa yang Bisa Indonesia Pelajari dari Tensi Rasial di Amerika?

Kota-kota besar di Amerika sedang dilanda protes masal dan kerusuhan menyusul tewasnya seorang kulit hitam George Floyd di tangan polisi Minneapolis, Minnesota. Floyd bukan korban pertama polisi Amerika. The New York Times melaporkan bahwa di tahun 2019 saja, lebih dari seribu orang terbunuh oleh polisi di Amerika.

Sebagai negara yang secara literal berada di belahan bumi lain, respon natural kita terhadap persoalan rasisme ini barangkali sebatas mengikuti di TV dan berita. Beberapa dari kita mungkin merasa jumawa, bangga karena Indonesia tidak punya masalah rasisme seserius Amerika.

Respon yang lebih tepat, menurut saya, adalah memakai pengalaman Amerika ini untuk refleksi diri dan belajar. Ada empat pelajaran dari sejarah rasisme di Amerika yang bisa kita ambil untuk memperbaiki relasi antar kelompok di Indonesia dan meningkatkan mutu demokrasi kita.

Pelajaran 1: Rasisme Punya Banyak Bentuk

Perbudakan sudah dihapuskan. Memanggil orang kulit hitam dengan “kata berawalan N” sudah dianggap tabu. Seorang kulit hitam, Barack Husein Obama, bahkan dua kali terpilih jadi presiden di 2008 dan 2012. Tapi semua kemajuan ini tidak berarti rasisme sudah selesai.

“Kata berawalan N” berubah jadi rasisme implisit atau persepsi bahwa orang kulit hitam banyak yang miskin bukan karena rasisme tapi karena mereka bodoh dan malas.

Perbudakan berganti jadi pemenjaraan dan kebrutalan polisi. Sebuah studi memperkirakan bahwa resiko seorang laki-laki kulit hitam terbunuh oleh polisi kira-kira 1 per 1,000. Angka ini 2.5 kali lebih tinggi dari resiko laki-laki kulit putih terbunuh oleh polisi.

The Pew Research Center melaporkan bahwa dari semua tahanan yang ada di penjara Amerika, 33%-nya adalah kulit hitam. Jumlah orang kulit hitam di populasi Amerika? Hanya 12%.

Hal yang mirip terjadi di Indonesia. Kita senang membanggakan bagaimana banyak gereja dan masjid berdiri bersebelahan. Kita suka membanggakan banyaknya hari libur keagamaan, simbol toleransi kita terhadap semua agama. Kita juga suka membanggakan beasiswa yang kita berikan kepada mahasiswa dari Papua. Tapi ini semua tidak berarti tidak ada diskriminasi.

Adalah sebuah diskriminasi ketika seorang minoritas dipenjara karena mengeluh tentang speaker rumah ibadah yang terlalu keras sementara seorang dari kelompok mayoritas memasuki rumah orang, membubarkan ibadah keluarga, dan hanya disuruh tanda tangan meterai Rp 6,000. Adalah sebuah diskriminasi ketika seorang warga negara tidak bisa mendapat layanan publik hanya karena agamanya, warna kulitnya, atau orientasi seksualnya. Ini semua diskriminasi dan ini semua masih ada di Indonesia. Kita harus berani mengakuinya.

Pelajaran 2: Akuntabilitas Aparat Keamanan itu Penting

George Floyd dibunuh di Minneapolis, negara bagian Minnesota. Gubernur Minnesota, Jaksa Agung Minnesota, dan Walikota Minneapolis semua berasal dari Partai Demokrat, partai yang dekat dengan kulit hitam. Kepala Polisi Minneapolis bahkan seorang kulit hitam. Representasi politik tidak cukup kalau aparat keamanannya sendiri tidak dapat dikendalikan.

Serikat polisi di Amerika kuat sekali dan mereka selalu terdepan melindungi anggotanya dari tuduhan penyalahgunaan kekuasaan atau kekerasan berlebihan. Mahkamah Agung Amerika juga membuat doktrin hukum bernama qualified immunity (imunitas terbatas) yang menetapkan standar lebih tinggi untuk menghukum aparat. Sebagai akibatnya, banyak aparat yang bebas meskipun melakukan aksi yang jelas berlebihan.

Memastikan bahwa aparat keamanan tetap akuntabel adalah kemutlakan dalam penegakan hukum dan penghapusan diskriminasi. Aparat keamanan tidak bisa dibiarkan mengawasi dirinya sendiri. Harus ada mekanisme pengawasan yang independen dan bergigi dari masyarakat sipil. Hal ini terutama berlaku di negara seperti Indonesia di mana kepercayaan terhadap polisi sangat rendah.

Pelajaran 3: Sistem Partai yang Dinamis Itu Penting

Pemilih kulit hitam di Amerika adalah contoh apa yang dalam ilmu politik dinamakan captured minority atau minoritas tertangkap.

Mereka disebut minoritas tertangkap karena di satu sisi mereka tidak mungkin mendukung Partai Republik karena perbedaan nilai yang terlalu besar. Tapi di sisi lain, kemampuan Partai Demokrat untuk memperjuangkan aspirasi kulit hitam juga terbatas karena Partai Demokrat juga butuh suara pemilih kulit putih. Sebagai akibatnya, meskipun pemilih kulit hitam adalah salah satu basis suara Partai Demokrat, banyak aspirasi mereka yang tidak dapat tersalurkan.

Sistem dua partai memang salah satu sumber kacaunya politik Amerika. Bila partai lebih banyak, akan ada lebih banyak pilihan bagi kelompok minoritas untuk menyalurkan aspirasinya.

Dalam hal jumlah partai, Indonesia lebih maju. Tapi sayangnya, partai-partai yang banyak ini masih penakut dalam isu minoritas.

Jumlah partai yang banyak akan tetap minim manfaat kalau cara berpikirnya sama semua dan tidak ada yang berani membuat agenda ramah minoritas. Agar demokrasi kita semakin hidup dan sehat, kita butuh jumlah pilihan yang cukup (multi partai) dan pilihan-pilihan yang cukup berbeda (multi platforms).

Pelajaran 4: Bagi Politisi, Hati-Hati Main Api

Salah satu sumber tensi rasial adalah Partai Republik yang semakin konservatif dan mengandalkan pemilih kulit putih. Kedua partai juga semakin terpolarisasi. Meskipun kedua partai sama-sama terpolarisasi, polarisasi Partai Republik lebih ekstrem.

Karena mengandalkan kulit putih, Partai Republik terobsesi dengan persyaratan identifikasi pemilih. Mereka berusaha meloloskan peraturan di berbagai negara bagian yang mewajibkan pemilih untuk menunjukkan bukti tanda diri agar dapat melaksanakan hak pilihnya. Syarat ini membuat sejumlah pemilih dari kelompok marjinal kehilangan hak pilihnya karena tidak punya bukti tanda diri.

Partai Republik juga semakin antagonis dengan program jaminan sosial dan dengan Obamacare yang memberi kesempatan kaum minoritas untuk memiliki asuransi kesehatan. Kebijakan anti-kriminalitas Partai Republik juga sering dituding diskriminatif karena hanya berorientasi mengurangi angka kriminalitas tanpa menyelesaikan kemiskinan dan kesenjangan struktural yang menyebabkan kriminalitas itu.

Apa relevansi pelajaran keempat ini dengan Indonesia? Hati-hati main api. Secara spesifik, hati-hati main politik identitas.

Pasca-Ahok, politisi kita semakin akrab dengan ormas agama. Ketika akan maju pemilu, politisi akan mencari dukungan dari tokoh dan ormas agama. Bahkan Jokowi sendiri pun memilih seorang kyai sebagai wakil presiden, meskipun yang bersangkutan tidak ada pengalaman pemerintahan sama sekali.

Pragmatisme politik demikian mungkin menguntungkan dalam jangka pendek. Tapi dalam jangka panjang, ia beresiko mengaburkan batas antara institusi agama dengan institusi negara.

Kedekatan politisi dengan institusi agama berpotensi menempatkan institusi negara di bawah institusi agama. Kita sudah melihat ini dalam berbagai kasus penodaan agama di mana pemerintah dan aparat penegak hukum memilih tunduk pada fatwa MUI, yang sebenarnya tidak memiliki kedudukan hukum.

Semakin politisi mencari dukungan politik berbasis kesamaan identitas atau kelompok, akan semakin sulit bagi negara untuk bisa bersikap adil terhadap semua golongan dan kelompok. Kita sudah melihat ini di Amerika dengan Partai Republik dan pemilih kulit putih. Kita tentunya tidak mau melihat kejadian serupa terjadi di Indonesia dengan ormas-ormas konservatif.

Epilog

Tensi antar kelompok adalah keniscayaan. Demokrasi, dalam tataran tertentu, adalah tentang pengaturan konflik. Konflik dikelola, bukan disuppresi. Mengelola konflik, pada gilirannya, membutuhkan pengakuan dan kesadaran bahwa konflik dan tensi tersebut memang ada. Kita tidak bisa mengelola sesuatu yang kita ingkari keberadaannya.

Di Indonesia, konflik, tensi, dan diskriminasi terkait agama, etnisitas, dan kelompok sosial lain adalah sesuatu yang ―sayangnya― jamak terjadi. Protes dan kerusuhan berbau ras yang terjadi di Amerika belakangan ini menunjukkan apa yang dapat terjadi ketika konflik dan tensi tidak dikelola dengan baik. Mereka menawarkan pelajaran yang dapat kita ambil untuk mencegah hal serupa terjadi di Indonesia.