Berbagi Tuhan

Sejak kecil kita selalu diajarkan untuk berbagi pada orang lain. “Nak, jangan jadi orang pelit ya”, itu mungkin yang dikatakan ibu atau bapak kita dulu. Memang, nasihat untuk berbagi itu tampaknya menjadi nasihat yang –sadar atau tidak- paling sering kita lakukan. Sekilas mengingat apa yang telah kita bagikan sejak kecil: permen, minuman, bekal makanan, ongkos angkot, dan banyak lagi. Bahkan setelah kita dewasa pun, masih saja ada hal-hal baru untuk dibagi. Salah satu fenomena ’bagi-membagi’ bahkan dijadikan judul film, “Berbagi Suami“. Betapa berbagi itu menyenangkan.

Menyenangkan tidak berarti mudah dilakukan. Setidaknya terlihat dari betapa sulitnya berbagi dengan orang yang kita musuhi. Faktor ego pun bukan hambatan sepele. Karenanya tidak jarang, -jangankan berbagi- bahkan sesuatu yang diperuntukkan untuk banyak orang pun ingin dikuasai sendiri. Putaran jalan dengan polisi cepek-nya, pasar dengan preman-premannya, dan berbagai hal lain, termasuk Tuhan yang juga ingin dimonopoli.

Berlomba Meninggikan Tuhan
Milik siapakah Tuhan? Milik orang Kristen, Muslim, Hindu, Kong Hu Cu, ataukah Buddha? Atau malah bukan milik siapa-siapa? Pertanyaan ini mungkin sangat retoris. Jawaban yang paling umum adalah, Tuhan bukan milik siapa-siapa. Karena Ia begitu besar, Ia tidak dapat dimiliki oleh orang-perorang bahkan negara sekalipun.

Jawaban yang tidak begitu buruk. Tapi sadarkah kita, bahwa urusan kepemilikan Tuhan ini ternyata tidak sesederhana yang dipikirkan? Jauh lebih rumit daripada sekedar formalitas kerukunan umat beragama. Menyangkut ego kelompok, kekuasaan, bahkan saling klaim kebenaran.

Bukan hal yang sulit dalam masyarakat kita untuk mendapatkan kelompok yang mengatas-namakan agama, dan kemudian menempatkan diri sebagai pembela Tuhan. Tuhan, –seperti kebanyakan pandangan umum- ditempatkan pada tempat yang begitu terhormat, tinggi di atas sana, tak tersentuh dan tidak boleh disentuh. Hanya boleh dipuja. Disuguhi dengan doa-doa seperti para raja disuguhi upeti.

Konsep Tuhan yang tak tergapai seperti itu bukan hanya milik suatu kelompok atau agama tertentu. Memang paling nyaman meletakkan Tuhan jauh di atas sana. Tempatkan Dia sebagai yang tertinggi, suguhi dengan doa-doa, bela dari para penghujat, dan berharap mendapatkan pahala. Mudah bukan? Itulah sebabnya, dan jangan heran, jika kemudian kasus-kasus pemonopolian Tuhan menjadi begitu marak. Orang berebut menjadi pembela Tuhan, menjaga Tuhan-nya menempati tempat tertinggi di antara ‘Tuhan-Tuhan’ lain. Sudah menjadi hal yang jamak ditemui, perselisihan hanya atas dasar asumsi Tuhan-nya telah dihina dan direndahkan.

Permasalahan tidak berhenti sampai disitu. Sulit sekali (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) mendefinisikan apa itu Tuhan. Apakah Dia seperti angin ataukah seperti api? Apakah kategori penghujatan itu bila menggunakan kata-kata atau cukup dalam hati? Harus ditujukan kemanakah penghujatan itu agar benar-benar valid sebagai sebuah penghinaan kepada Tuhan? Dan banyak pertanyaan lain sebagai akibat sulitnya mendefinisikan seperti apakah Dia.

Kebingungan-kebingungan seperti itulah yang akhirnya membawa banyak orang kepada sebuah simplifikasi. Tuhan direpresentasikan (baca: dikurung) dalam konsep agama dan Kitab Suci. Merendahkan agama sama dengan merendahkan Tuhan, mengingkari Kitab Suci sama dengan menghujat Tuhan. Entah apakah simplifikasi ini mengangkat derajat agama dan Kitab Suci sehingga setara dengan Tuhan, ataukah menurunkan derajat Tuhan sehingga setara dengan agama dan Kitab Suci, yang jelas ia membawa konsekuensi yang serius.

Mayoritas agama memiliki sejarah kekerasan yang kelam. Perselisihan dengan agama lain bukan hal yang jarang, bahkan sampai hari ini. Perselisihan antar umat seagama pun seakan sudah lumrah, yang tidak jarang berujung pada kekerasan bahkan himbauan mendirikan agama baru. Dan di tengah hingar-bingar permusuhan dan kekerasan yang mengatas-namakan agama atau pembelaan Tuhan itu, justru Ia telah dilupakan.

Bersama Memiliki Tuhan
Kembali kepada persoalan saling klaim Tuhan yang benar. Tidak akan banyak membantu bila kita tetap berangkat dari konsep ‘Tuhan saya satu-satunya yang benar, dan Dia hanya milik saya’. Semua orang dapat dengan mudah memegang konsep itu, dan perselisihan tidak akan pernah berakhir, pun berbagai perdebatan.

Bukan ‘siapa yang benar’ yang menjadi masalah utama, tapi ‘siapa yang memiliki’. Karena itu sangatlah membantu dan indah, bila dalam saling klaim kebenaran itu monopoli atas kepemilikan Tuhan justru dilepaskan. Tuhan Yesus bukan lagi hanya milik orang Kristen, begitu pula Allah S.W.T , Sang Hyang Widi, dan seterusnya. Tidak perlu marah, tapi bergembiralah, jika Tuhan agamanya dibagikan dengan agama lain. Sehingga akhirnya, Tuhan menjadi Tuhan semua agama.

Jika Tuhan-nya si Badu yang benar, maka bagikanlah kebenaran itu kepada yang lain. Biarkan orang lain juga menjadi pemilik atas Tuhan si Badu. Bukan masalah besar apakah orang akan menerima atau menghujat, yang terpenting adalah melepaskan keinginan untuk memonopoli Dia. Sebuah pertanyaan kecil untuk menutup tulisan ini, “Jika Tuhan saja hendak kita monopoli, bagaimana kita dapat berbagi untuk hal yang kecil?“.(Nathanael Gratias Sumaktoyo)