Cinta yang Tulus itu ya Cinta

Selasa tanggal 28 November besok bakal jadi deadline untuk salah satu tugas teraneh yang pernah saya terima. Menunjukkan apakah cinta yang tulus itu ada di bumi ini. Pak Dosen meminta kelompok-kelompok mempresentasikan jawabannya, plus harus didukung dengan argumen masuk akal berangkat dari pengalaman atau pengamatan masing-masing.

Sebenarnya bukan tugasnya yang membuat saya mengernyitkan dahi. Tapi penggunaan frasa ‘cinta yang tulus’. Memang sih, bukan hanya Pak Dosen yang menggunakan frasa itu, tapi -barangkali- hampir semua masyarakat. Justru disitu permasalahannya, kok seperti tidak ada yang merasa aneh dengan frasa itu.

Frasa ‘cinta yang tulus’ seakan-akan mengamini keberadaan suatu cinta lain yang tidak tulus. Ada cinta yang tulus, berarti harus ada cinta yang tidak tulus. Hal membingungkannya adalah, kok bisa orang menganggap sesuatu yang tidak tulus sebagai cinta?

Rasanya aneh, sebab bagi saya kalau tidak tulus ya itu bukan cinta. Apabila ada cinta yang gombal, ya itu bukan cinta. Apabila ada cowok yang mengaku sayang dengan ceweknya tapi melakukan hubungan seks sebelum nikah, ya itu bukan cinta tapi nafsu. Apabila ada cinta yang demikian mudah dialihkan kepada target (meminjam istilah sebuah reality show) yang berbeda bila target yang sekarang tidak menerima, ya itu bukan cinta. Apabila ada cinta yang menuntut pasangannya untuk begini dan jangan begitu, ya itu bukan cinta.

Saya jadi merasa, banyak juga kasus permainan kata yang serupa tapi tak sama. Misalnya saja, kasus janji dan sumpah. Karena banyak orang suka tidak menepati janji, maka muncullah inisiatif untuk mengambil sesuatu yang dinamakan sumpah. Serasa sumpah setingkat lebih tinggi daripada janji, si hobi melanggar janji diharap tidak akan melanggar sumpahnya.

Lho ya apa nggak aneh. Bagi saya, yang perlu dibenahi bukan janjinya. Bukan dengan menaikkan taraf janji menjadi sumpah. Hal yang perlu dirombak justru mental orangnya. Orang yang memang nggak peduli dengan perkataannya, omongannya nggak bisa dipegang, mau dipegang janjinya, sumpahnya, ataupun sekalian dipegang orangnya nggak akan berpengaruh.

Kembali lagi ke soal cinta dan cinta yang tulus. Kalaupun banyak orang berbicara tentang cinta dengan penuh kegombalan dan tidak bisa menepatinya, yang salah ya bukan cintanya. Nggak perlu, karena cinta digombalisasi, kemudian kita menciptakan ‘cinta yang tulus’ untuk membedakannya dengan ‘cinta yang gombal’. Lagi-lagi, yang perlu dipermak adalah mental individunya.

Jadi, alih-alih sibuk mencari tambahan kata untuk melengkapi ‘cinta’ demi menjaga maknanya yang tulus, suci, dll, saya lebih memilih untuk membiarkan ‘cinta’ itu sendirian saja. Toh, dari dirinya, dari asalnya, ia sudah tulus, ia sudah suci, dan ia memang lebih terasa bermakna dalam kesendirian.
(Nathanael Gratias Sumaktoyo)