Dekat di Mata, Bukan (Belum) di Hati

Penulis: Nathanael Gratias
Juara II Lomba Esai Nasional “Hubungan Indonesia-Australia” Kategori Mahasiswa. Kerjasama Center for Indonesia Reform dan Kedutaan Besar Australia.

“Australia cuma sepelemparan batu jaraknya, tapi membicarakan Australia seperti membicarakan negeri yang ada di Eropa sana. Jauh. Tidak familiar. Tidak Asia banget. Singkat kata, beda”

Kalimat di atas bukan diambil dari buku atau kutipan sosok terkenal, semata merupakan impresi pertama saya bila mendengar kata ‘Australia.’ Logika formal saya sadar benar Australia terletak hanya sedikit di bawah Nusa Tenggara, sedemikian dekat sehingga dalam masyarakat berkembang joke penduduk kedua negara dapat saling melihat jemuran pakaian masing-masing. Sayangnya, tidak jarang pula ketika mendengar kata yang sama terlintas dalam benak justru sebuah kultur yang asing, tidak familiar.

Membicarakan persahabatan Indonesia-Australia berarti membicarakan persahabatan berbeda kultur. Membicarakan persahabatan berbeda kultur berarti membicarakan persahabatan yang harus melewati hambatan stigma dan stereotipe. Pada akhirnya, sama seperti semua hal yang terkait dengan prasangka, saling mengenal adalah penyelesaian terbaik.

Untuk saling mengenal, individu atau kelompok perlu terbuka dan memahami hal-hal yang menghambat perkenalan tersebut. Bila suatu hal tidak berkembang hingga tingkat maksimalnya, hanya ada dua kemungkinan: keterbatasan waktu atau adanya hambatan. Waktu sepertinya bukan masalah dalam hubungan Indonesia-Australia. Hal ini terlihat jelas bila kita menelusuri kembali sejarah kedekatan yang berakar bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Mengesampingkan keterbatasan waktu menghadapkan kita pada kemungkinan kedua, adanya hambatan yang mengganjal hubungan kedua negara.

Hambatan yang Memelihara Prasangka

Ganjalan atau hambatan ini tentu memiliki beragam aspek, namun ada baiknya kita memfokuskan diri pada sisi paling umum dulu, yaitu pada cara pandang masyarakat kebanyakan (termasuk saya) dan bukan pada perspektif kaum elit. Kita dapat berharap dengan sistem demokrasi yang diterapkan kedua negara, mengubah cara pandang masyarakat dapat mendorong para elit menginisiasi hubungan yang lebih erat.

Dari sisi Indonesia, stigma negatif berangkat dari banyak persepsi, beberapa akan kita elaborasi dalam tulisan ini. Pertama, politik luar negeri Australia yang dinilai pro-Amerika. Persepsi yang berkembang dalam masyarakat, politik luar negeri Amerika adalah politik anti-Islam. Gagasan sektarian dan ngawur saya pikir. Di luar keanehan bahwa produk-produk Amerika terus saja diburu, gagasan anti-Amerika memang seringkali terlihat dalam demonstrasi dan jargon-jargon politik.

Sialnya bagi Australia, generalisasi meluas hingga menyeret Australia sebagai sosok yang tidak bersahabat bagi Indonesia dan Islam. Masyarakat adalah kumpulan massa, dan seperti disebut dalam banyak kajian psikologi massa, massa tidaklah berpikir dengan cara yang sama seperti individu. Bahwa Australia mengirimkan pasukan ke Irak sudah cukup menjadi premis kesamaan agresivitas Australia dengan Amerika Serikat.

Kedua, ganjalan yang disebabkan aksi-aksi kurang simpatik. Tentu saja ketika membicarakan hal ini kita tidak bisa tidak menyinggung masalah Timor Leste. Masyarakat Indonesia tentu saja tidak bisa melupakan proses lepasnya Timor Leste, dan bagaimana Australia berperan dalam hal ini. Mungkin, dalam pandangan saya, satu hal yang membuat hal tersebut sulit dilupakan adalah karena integrasi Timor Timur tidak mungkin terjadi bila tidak ‘direstui’ secara politis oleh Australia.

Hal lain yang dapat menjadi contoh aksi kurang simpatik adalah perlakuan polisi perairan Australia terhadap nelayan-nelayan Indonesia. Jamak ditemui belakangan ini siaran-siaran berita menggambarkan aparat Australia membakar kapal nelayan Indonesia karena dinilai melanggar batas teritori. Lepas dari siapa salah siapa benar, siaran berita seperti itu akan menguatkan stigma tidak bersahabat Australia di mata masyarakat Indonesia. Saya percaya Australia memiliki cara yang lebih baik dan efektif untuk menangani nelayan pelanggar batas wilayah.

Mencoba menempatkan kaki di sepatu masyarakat Australia, ada beberapa hal dari sisi Indonesia yang perlu dibenahi. Pertama, perlu diingat stigma adalah sesuatu yang reciprocal atau timbal balik. Stigma seringkali menjadi self-fulfilling prophecy, menjadi benar bukan karena stigma itu sendiri benar melainkan karena ia mendorong kondisi yang mengkonfirmasi kebenarannya.

Dalam hal ini, prasangka sebagian masyarakat Indonesia bahwa Australia dengan kebijakan luar negerinya tidak ramah terhadap Indonesia (dan negara berkembang atau Islam lain) dapat mendorong aksi-aksi kurang simpatik. Aksi-aksi kurang simpatik ini pada akhirnya dapat mendorong masyarakat Australia untuk mencap Indonesia sebagai ‘tidak bersahabat’. Tentu tidak ada yang dapat menyalahkan tumbuhnya prasangka demikian mengingat banyak demonstrasi memang menampilkan wajah anti-Barat. Peristiwa Bom Bali I, J.W Marriot, dan kedubes Australia semakin menguatkan hal tersebut.

Kedua, opini bahwa Indonesia adalah negara yang mengancam keamanan nasional Australia. Opini ini, meskipun menurut saya kurang masuk akal karena minimnya kekuatan militer Indonesia, tentu saja memiliki justifikasinya sendiri. Sejarah panjang sikap konfrontatif Indonesia terhadap tetangganya, seperti Komando Ganyang Malaysia dan aneksasi Timor Timur (bila hendak dipandang demikian) pantas membuat Australia sebagai tetangga cemas. Karena itu tidak heran bila masyarakat Australia, seperti tercermin dalam survei The Lowy Institute tahun 2006, menilai ancaman keamanan terbesar datang dari Indonesia.

Dalam pandangan saya, prasangka adalah sesuatu yang unik. Ia tidak bisa diselesaikan semata dengan diskusi ataupun kajian ilmiah. Pun juga tidak akan selesai hanya dengan menyajikan data dan fakta sebagai counter-argument. Ia terkait dengan cara pandang yang melekat, yang seringkali tidak disadari tapi sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Karena sifatnya yang subtle itu, pendekatan yang saya yakin efektif bukanlah pendekatan faktual semata melainkan harus didukung oleh pengalaman nyata langsung.

Psikologi Prasangka

David Myers dalam bukunya Psychology (2002) menuliskan tentang heuristic judgement. Mengutip Oliver Holmes, Myers menuliskan “most people reason dramatically, not quantitatively.” Ia menyajikan contoh betapa masyarakat menilai bepergian dengan mobil lebih aman daripada dengan transportasi udara, semata-mata karena efek mengerikan berita-berita kecelakaan pesawat terbang. Padahal, “for most air travelers, the most dangerous part of the journey is the drive to the airport” (Myers, 2002, p. 312).

Mengaitkan hal tersebut dengan stigma-stigma yang ada dalam hubungan Indonesia-Australia, tidak heran bila kampanye persahabatan yang digalang secara intensif dapat tenggelam dan diabaikan dengan cepat hanya karena berita-berita kurang menyenangkan. Banyaknya demonstrasi anti-Barat ataupun aksi sweeping yang menjadikan warga Barat sebagai sasaran jelas menumbuhkan keyakinan bahwa Indonesia dengan radikalismenya adalah ancaman keamanan bagi Australia. Sebaliknya, liputan pembakaran kapal nelayan Indonesia hanya akan mempertegas anggapan arogansi Australia. Kedekatan hubungan yang semata didasarkan data dan fakta akan dengan mudah diruntuhkan oleh berita-berita negatif demikian. Pendekatan lain perlu dilakukan, pendekatan yang lebih personal dan menyentuh kalangan lebih luas.

Lepas dari fluktuasi yang terjadi selama ini, saya yakin masih banyak celah yang dapat digarap untuk meningkatkan persahabatan Indonesia-Australia. Dalam bagian terakhir tulisan ini kita akan melihat beberapa celah tersebut, yang saya nilai tidak terlalu rumit namun dapat memberikan efek nyata dalam membangun hubungan di masa depan.

Celah-celah yang Tetap Terbuka

Hal penting pertama adalah pariwisata. Pariwisata menurut saya sangat menjanjikan, baik secara ekonomis maupun kedekatan kultural. Selama beberapa dekade, hal ini sudah berjalan baik namun dalam skala terbatas. Indonesia memiliki Bali yang menjadi salah satu tujuan favorit warga Australia. Bahkan sebagai tujuan wisata Bali lebih terkenal dibanding nama Indonesia sendiri.

Satu hal menarik tentang pariwisata adalah, tidak mungkin suatu tempat menjadi tujuan favorit bila tidak diiringi impresi positif atas karakter masyarakatnya. Bukan hal aneh bila wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, menilai masyarakat Bali sebagai bersahabat, ramah, dan menyenangkan. Kesan positif akan meningkat seiring kenaikan popularitas suatu tempat sebagai tujuan pariwisata, terutama pariwisata budaya.

Berangkat dari hal tersebut, pariwisata dapat menjadi senjata ampuh dalam meluruskan stigma negatif tentang Indonesia yang ada di masyarakat Australia. Potensi wisata tersebar luas dan hanya menunggu keseriusan pemerintah untuk mengembangkannya. Dari Barat ke Timur, menyebut beberapa, ada Danau Toba, Danau Tiga Warna, Tana Toraja, hingga Kepulauan Raja Ampat. Tingkat ekonomi masyarakat Australia yang cukup mapan menjadikan kampanye pariwisata ini tidak tersegmentasi pada kelas ekonomi tertentu, namun terbuka lebar untuk masyarakat pada skala luas. Tidak ada diplomasi yang lebih baik selain mengundang wisatawan untuk merasakan langsung keramahan kultur Indonesia.

Potensi kedua ada pada pendidikan. Ini terutama berlaku untuk Australia yang secara ekonomi dan sistem pendidikan lebih maju. Pemberian beasiswa dan pertukaran pelajar adalah hal yang sangat efektif, namun tetap perlu didukung oleh tindakan-tindakan lain. Saya katakan kedua hal tersebut tidak dapat berdiri sendiri dikarenakan sifatnya yang terbatas. Tentu saja hal ini sangat dapat dimengerti sebab secara riil sasaran dua program tersebut adalah individu-individu yang diharapkan menjadi agen perubahan.

Sebagai perluasan dari program beasiswa dan pertukaran pelajar, Australia dapat menyentuh masyarakat Indonesia secara lebih luas dengan program visiting teacher. Sewaktu SMA dulu, sekolah saya kedatangan guru bahasa Jepang yang memang asli Jepang. Selama lebih kurang tiga bulan ia mengisi langsung mata pelajaran bahasa Jepang, berinteraksi dan berdiskusi dengan para siswa. Tiga bulan memang bukan waktu yang lama, namun kesan dan impresi yang ditinggalkan sangat berbekas. Karena kecenderungan individu untuk melakukan generalisasi, seorang guru yang hanya ditemui selama tiga bulan pun dapat mendorong terbentuknya persepsi positif atas keseluruhan masyarakat Jepang.

Australia saya pikir dapat melakukan pendekatan yang sama. Sasarannya bukan pada sekolah-sekolah elit, namun pada sekolah-sekolah negeri yang meski tidak terlalu megah tapi tetap memiliki kualitas yang cukup untuk mendapatkan manfaat dari program visiting teacher ini. Bila dikembangkan lebih jauh lagi, program ini dapat pula menyasar pondok-pondok pesantren dan sarana pendidikan berbasis agama lain.

Celah ketiga, hal terakhir dalam tulisan ini namun sama penting dengan poin-poin sebelumnya, persahabatan dan kerjasama berbasis komunitas. Selama ini kerjasama telah banyak dilakukan dan berjalan cukup baik. Contoh paling representatif barangkali dalam bidang pendidikan, dimana perguruan tinggi kedua negara saling menjalin komitmen dan menandatangani nota kesepahaman. Kerjasama dan persahabatan ini dapat diperluas sehingga bukan lagi antar lembaga namun antar komunitas kedua negara.

Blogger adalah komunitas yang pertama terlintas dalam pikiran saya. Pentingnya peran blogger dalam membentuk opini terlihat jelas dalam beberapa kasus pencekalan atau kriminalisasi blogger di beberapa negara, seperti Malaysia, China, dan Kuba. Bila pemerintah sampai merasa takut atau terancam oleh tulisan yang terpampang dalam blog-blog, maka jelas ada kekuatan dalam tulisan-tulisan tersebut.

Kedutaan maupun instansi dari kedua negara dapat memfasilitasi terbentuknya komunitas blogger Indonesia-Australia, mengadakan pelatihan blogging, bahkan hingga kunjungan persahabatan dan temu komunitas. Semakin menarik dan bersahabat komunitas tersebut, semakin besar kemampuannya menambah anggota. Pada akhirnya anggota yang berkembang dan persahabatan yang kuat akan menumbuhkan kesan positif atas perbedaan kultur yang ada.

Selain blogger, banyak kelompok lain yang juga dapat menjadi sasaran. Filatelis, penggemar korespondensi, atau bahkan siswa sekolah penggemar majalah dinding. Untuk yang terakhir, komunikasi dapat dilakukan melalui pertukaran karya ataupun dengan saling mengisi rubrik. Selalu ada jalan. Komunikasi dan pendekatan berbasis komunitas demikian mungkin bukan sesuatu yang wah, namun justru karena sifatnya yang sederhana ini semua orang dapat memiliki akses.

Saya tidak melihat saat sebaik sekarang bagi Indonesia dan Australia untuk saling mengakrabkan diri. Begitu banyak faktor yang mendukung kedekatan hubungan ini, baik internal maupun eksternal. Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, merupakan sosok yang tepat untuk memimpin Australia semakin membuka diri dan mendekati tetangga-tetangganya di utara. Dari sisi politik global, dukungan kuat bagi Barrack Obama untuk menduduki kursi presiden Amerika Serikat jelas membawa angin segar ke seluruh dunia. Nilai-nilai demokrasi dan keterbukaan yang ditawarkan dapat memperbaiki citra Amerika dan sekutunya di mata Indonesia dan negara berkembang lain.

Proses harus dilanjutkan, perkembangan positif diapresiasi dan kemunduran dievaluasi secara seksama. Saya pribadi percaya, dilandasi oleh perasaan saling menghormati dan membutuhkan, akan ada saat Indonesia dan Australia memandang peta dan melihat tetangganya yang dekat di mata kini dekat pula di hati.