Demokrasi, Kebebasan Beragama, dan Peran Negara
In popular governments (democracies), minorities (individuals) constantly run much greater risk of suffering from arbitrary power than in absolute monarchies – John Adams
Berbagai peristiwa kekerasan bernuansa agama yang terjadi belakangan ini seakan menggoda untuk membandingkan masa reformasi sekarang dengan masa (Alm) Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru sulit dibayangkan aparat negara segan menindak organisasi massa anarkis seperti yang terlihat saat ini. Peran negara saat itu begitu kuat, tidak terkecuali dalam hal sesensitif kehidupan beragama dan pendirian rumah ibadah.
Melissa Crouch (2007) mencatat dalam 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, ‘hanya’ 456 gereja dirusak massa, 131 di antaranya pada periode 1995-1997 ketika kekuasaan presiden mulai goyah. Jumlah ini meningkat tajam pada 17 bulan pemerintahan Habibie dengan 156 gereja, 21 bulan masa presiden Abdurrahman Wahid dengan 232 gereja, dan 68 gereja pada masa Megawati. Pada masa SBY, pencideraan terhadap kebebasan beragama juga belum berhenti. Singkatnya, ketika otoritarianisme tumbang dan demokrasi lahir, negara sepertinya gamang memutuskan untuk terlibat atau lepas tangan dalam berbagai isu sensitif. Persoalannya, apakah demokrasi –dan kebebasan sipil yang dijunjungnya– mengharuskan negara absen dari masyarakat?
Kapasitas Negara
Julie Chernov Hwang (2009) mendefinisikan kapasitas negara dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah kemampuan menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan. Dimensi kedua adalah kapasitas pelayanan publik dan jaminan sosial. Tanpa menafikan pentingnya dimensi kedua, dalam konteks kebebasan beragama, kemampuan negara menjamin keamanan adalah hal paling relevan.
Satu hal esensial dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah hak berpendapat. Termasuk dalam hal ini adalah hak menolak kehadiran rumah ibadah. Menurut Marcus, Piereson, & Sullivan (1982) demokrasi memberi ruang bagi warga negara untuk dapat saling membenci. Ia tidak mensyaratkan setiap individu harus begini atau harus begitu. Ia memberi kebebasan dan di mana ada kebebasan di sana ada konflik dan pertentangan, seperti ditegaskan Saul Alinsky, “A free and open society is an ongoing conflict.”
Sebaliknya, demokrasi lebih banyak bicara tentang bagaimana negara dan sistem mengelola tensi yang ada dalam masyarakat. Perangkat negara mulai dari birokrasi hingga aparat keamanan merupakan alat yang harus dipakai untuk mengelola tensi itu. Studi kasus Julie Chernov Hwang (2009) di Indonesia, Malaysia, dan Turki menunjukkan bahwa bila negara memanfaatkan organ-organnya dengan benar, ia sungguh dapat ‘memaksa’ kelompok-kelompok radikal untuk memoderasi sikap. Dengan rational choice sederhana, kelompok radikal tentunya akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan bila hasil yang dicapai tidak sebanding dengan sanksi berat dari pemerintah.
Negara dan Kebebasan Beragama
Menilik kasus pelanggaran kebebasan beragama dan sulitnya pendirian rumah ibadah belakangan ini, kita dapat melihat bahwa negara telah gagal menjalankan kapasitas pertamanya, yaitu perlindungan hukum dan keamanan. Dalam kasus seperti HKBP Depok dan GKI Bogor, negara tunduk pada massa dengan mencabut kembali ijin yang telah dikeluarkan. Dalam kasus lain seperti HKBP Pondok Timur, negara seperti tak kuasa memberi solusi dan jalan tengah. Aparat keamanan pun tak berdaya mengamankan beberapa kali ibadat yang berujung pemukulan.
Hal ironisnya adalah, baik penelitian Julie Chernov maupun perkembangan terkini menunjukkan bahwa organisasi massa radikal sebenarnya masih segan kepada negara, dengan catatan negara bersikap tegas dan berwibawa. Hal ini dapat dilihat antara lain dari sikap salah satu ormas yang buru-buru melakukan klarifikasi pasca Kapolri menyarankan pembubaran ormas anarkis. Pertanyaannya kemudian, apakah negara mau menjaga wibawanya sendiri? Apakah para pemimpin kita mau pasang badan untuk isu sesensitif ini? Salah total bila pemerintah memandang demokrasi meminta minimnya campur tangan pemerintah. Sebaliknya, justru dalam demokrasi, tensi dan konflik sosial akan abadi. Di sanalah pemerintah harus hadir untuk menjadi penengah dan pelindung. (Nathanael Gratias)
the truth is…..to many bad notes playing in our “harmony”…and too much history…
bahkan apabila negara tegas sekalipun juga tidak akan menyelesaikan masalah, konflik akan selalu ada
pengalaman berpuluh-puluh tahun membuktikan justru di saat saat seperti inilah muncul “hero-hero” yang akan menyeimbangkan dunia….Agnes Gonxha Bojaxhiu, Martin Luther King Jr, Rabindranath Tagore,Master Cheng Yen, dan masih banyak lagi
Ya, kuncinya memang ada di tangan pemerintah. Karena secara teologis, sangat jarang ormas Islam yang menganut paham anarkisme. Bahkan FPI sekalipun, saya pikir lebih menghormati otoritas dibandingkan keadaan carut marut tanpa pemimpin. Hal ini mestinya dijadikan entry point bagi pencegahan tindak kekerasan. Sayangnya, bagi pemerintahan yg korup, kemauan sederhana adalah jalan pelik yang membutuhkan banyak tahap. Dan terlihat dengan jelas, bagaimana mereka sudah kelelahan sebelum tahapan-tahapan koruptif mereka lalui. Hasilnya, semuanya hanya diam, duduk termangu menyaksikan kekerasan yang muncul tanpa ada pemecahan yg efektif sama sekali.