Demokrasi: Yang Sudah dan Masih Harus Diperjuangkan
Judul : Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis : Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD)
“Democracy is the worst form of government, except for all others that have been tried”
(Winston Churchill)
Seperti Churchill, Goenawan Mohamad (GM) pun merasa perlu mengkritisi demokrasi. Kritik yang disampaikan pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture 2008 inilah yang menjadi isi “Demokrasi dan Kekecewaan”. Bukan hanya kritik GM, buku ini juga menampilkan tanggapan enam pegiat demokrasi: William Liddle, Rocky Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi. Uniknya, tidak berhenti di situ, buku ini ditutup dengan tanggapan balik. Sistematika gagasan-tanggapan-jawaban ini, entah sengaja atau kebetulan, seakan menunjukkan bagaimana demokrasi menangani perbedaan: diskursus.
Kritik GM
Demokrasi, dalam pandangan GM, cenderung menjadi mekanisme konsensus. Ia tunduk pada “kurva lonceng”, dimana suara terbanyak ada di tengah, bukan di kiri atau kanan. Ketundukan demokrasi pada konsensus ini membuatnya sulit mengadopsi perubahan. Obama, contoh yang GM ajukan, tidak akan berani mengajak berunding Hamas semata karena hal itu bukan isu dengan konsensus terbanyak. Dalam bahasa GM, “Di haribaan kurva lonceng … keberanian disimpan dalam laci.” [hal. 8]
Bila demikian yang terjadi, apa yang kemudian harus dilakukan? Jawabannya, menurut GM, justru diberikan oleh mereka yang berniat menghancurkan demokrasi. Al-Qaeda dan terornya, alih-alih merobohkan, malah memperkuat bangunan demokrasi. Teror melahirkan aparat negara yang kuat, para penjaga mekanisme konsensus. Di mata GM, yang harus dilakukan adalah mengembalikan politik sebagai perjuangan dinamis, yang senantiasa terbuka pada perubahan.
Tanggapan atas Kritik
Demokrasi memang bukan suatu ideal, tapi ia tetap yang termungkin. Seperti ditekankan Bill Liddle dan Rizal Panggabean, salah satu keunggulan demokrasi adalah koreksi internal. Koreksi internal ini juga yang mendorong Robertus Robet menyanggah GM. Ia menyatakan sekalipun kadang demokrasi sekedar simbol, simbol itu tidak akan mampu membunuh “yang disimbolkan”. Demokrasi tetap mampu berubah dan mengakomodir perubahan.
Selain semangat koreksi internal, demokrasi juga sebangun dengan toleransi. Demokrasi mensyaratkan toleransi, kesediaan untuk menerima perbedaan. Dalam toleransi inilah, menurut Rocky Gerung, demokrasi tidak lagi terbatas prosedur. Toleransi dapat tumbuh menjadi budaya, dan dengan demikian menjadi bagian hidup sehari-hari. Demokrasi dalam hal ini dipraktekkan bukan hanya oleh para elit, tapi juga masyarakat banyak.
Keadaan ketika demokrasi bukan menjadi monopoli elit tentu sulit dibayangkan, apalagi oleh ilmuwan politik yang terbiasa bermain definisi. Kontradiksi inilah yang diangkat Dodi Ambardi. Ia mengandai-andai bagaimana kritik GM, seandainya jadi nyata, akan membebaskan demokrasi.dari batasan teknis. Pembebasan yang, barangkali juga, akan menyulitkan para peneliti karena harus mendefinisikan sesuatu yang cair. Namun apapun itu, menurut Dodi, demokrasi ala GM akan menjadi “suatu sejarah baru”.
Ihsan Ali-Fauzi lain lagi. Alih-alih menggerutui demokrasi, ia menyodorkan partai gerakan (movement party) sebagai jawaban. Berbeda dengan partai konvensional yang mendasarkan diri pada kantong sosial seperti agama atau etnisitas, partai gerakan mendasarkan diri pada isu spesifik seperti lingkungan, gender, hingga perdamaian. Dan dengan demikian, menjamin isu-isu non-mainstream tetap terakomodir.
Secuil Pelajaran
Sama seperti demokrasi mengedepankan kekritisan, buku ini pun mengajak pembaca untuk kritis. Bukan sekedar menerima demokrasi karena ketiadaan pilihan, tapi memang karena di dalam demokrasi itu sendiri terkandung toleransi, pluralisme, dan penghargaan hak asasi.
Bila ada yang harus dikritik dari buku ini, barangkali dari minimnya solusi yang ditawarkan. GM menawarkan “perjuangan”, Bill Liddle mengajukan “sabar menunggu”, keduanya terlalu abstrak. Alternatif paling praktis adalah partai gerakan, seperti ditawarkan Ihsan Ali-Fauzi. Tapi tentu partai gerakan punya cost tersendiri. Limitasi electoral dan parliamentary threshold membuat usaha mempertahankan partai jenis ini tidak mudah dan murah.
Lagi-lagi dalam kondisi demikian, harus diamini demokrasi memang bukan keadaan melainkan perjuangan yang terus berproses. Berbeda dengan monarki dimana elit dilahirkan, demokrasi memungkinkan elit dirotasi. Berbeda dengan teokrasi yang hendak merepresentasikan ke-Ilahi-an, demokrasi berjuang merepresentasikan kemanusiaan. Seperti Churchilll katakan, demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali bila dibandingkan dengan semua bentuk pemerintahan lain yang pernah dicoba manusia. **
Demokrasi 2.0
Agar warga negara dapat lebih partisipasif menyuarakan aspirasi
ketika anda melihat elite politik sedang berseteru mengenai kasus century, maka anda tahu bahwa demokrasi sedang berfungsi sebagaimana mestinya di Indonesia
ada buku bagus el, kalo lw perlu referensi…..gw bacanya dulu waktu di perpus kampus gw, gw lupa yang ngarang siapa judulnya “why capitalism succeed in america, and fails in elsewhere”
Ya. Perbincangan demokrasi di Indonesia memang masih panjang. Belakangan demonstran kita sudah memasukan binatang dalam wacana demokrasi kita. Secara kultural, demonstran lupa, menyakiti sebagian warga negara yang meyakini bahwa kerbau adalah binatang suci. Saya dengar demokrasi baru solid jika sudah teruji minimal lima angkatan kepemimpinan. Ya, Liddle benar meski abstrak, kita tunggu saja.