Hantu itu bernama Prasangka
Ada yang membuat saya gelisah di awal semester IV, apa lagi kalau bukan tentang dosen. Dosen galak, banyak tugas tapi pelit nilai, di kelas mahasiswa wajib tenang, intinya semua syarat ’dosen membosankan’ terpenuhi. Rasanya, setiap hari mengajar Pak Dosen, malas benar jika harus ke kampus. Plus, sebagai penambah rasa malas, kuliah beliau baru selesai pukul 19.00. Paling malam diantara mata kuliah lain.
Kualifikasi dosen merembet ke mata kuliah. Jadilah saya ikut alergi terhadap mata kuliahnya. Aneh benar, karena baru beberapa waktu yang lalu saya mengikuti seminarnya Pak Khrisna Murti. Menurut Pak Khrisna, harus dipisahkan antara dosen dan mata kuliah, antara guru dan mata pelajaran yang diajar. Menurut saya juga begitu, tapi namanya sudah telanjur alergi, jadi tidak terpikir sampai sana.
Tibalah Ujian Tengah Semester. Seperti biasa, saya ndak tertarik untuk belajar mata kuliah yang saya alergi, pun mata kuliah Pak Dosen. “Wisben, mbuh ora weruh (Biaran amat, nggak mau lihat). Meskipun belajar, toh akhirnya subjektifitas beliau yang bekerja.“, begitu batin saya. Ketika lembar jawaban dikumpulkan, bagi saya selesailah persoalan.
Dua minggu setelah ujian, saatnya melihat nilai. 70!! “Lho, apik tenan (lho, bagus banget)“. Saya bingung. Tanya ke teman lain, banyak juga yang dapat lebih tinggi dari saya. Masih dalam kebingungan, nada-nada penyesalan mulai muncul, “Kalau waktu itu mau belajar, mungkin bisa dapat lebih bagus“. Walaupun tidak rela, namun tampaknya sulit dipungkiri, yang bikin nilai jelek justru prasangka saya terhadap Pak Dosen.
Nun jauh dari kehidupan saya sebagai mahasiswa, juga karena prasangka, banyak perempuan yang begitu takutnya untuk berjalan keluar malam sendirian. Bukannya takut dijahati atau takut ketemu wewe (hantu), tapi takut dikenakan sangkaan.
Konon, seorang perempuan bisa dipenjara atau didenda hanya karena sangkaan. Tuduhannya serius: meresahkan masyarakat. Kriterianya: malam-malam sendirian, dan –yang paling penting- dicurigai petugas. Sendirian tapi petugas ndak curiga, itu tidak meresahkan. Beramai-ramai tapi petugas curiga, itu -katanya- meresahkan.
Seorang teman yang usil pernah menyeletuk, “perempuan sendirian malam-malam itu meresahkan masyarakat atau meresahkan Pak Walikota dan aparatnya?“ Teman yang lain langsung menimpali, “Pelacur ya jelas meresahkan masyarakat.“. “Lho, ada yang ganjil, siapa yang bicara tentang pekerja seks? Waduh prasangka lagi ini“, batin saya.
Telisik punya usut, Pak Walikota ternyata percaya betul dengan pengalaman dan kemampuan deteksi dini aparatnya.Karenanya, beliau merasa hanya perlu mencantumkan 15 kata kunci dalam peraturan kotanya: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur…“. Nah permasalahannya, kalau boleh sedikit nyeleneh, Pak Walikota kok hanya risi terhadap pelacur ya, gigolo ndak disebut?
Selang beberapa waktu setelah itu, seorang teman saya mengomel-ngomel sembari curhat. Kendati bingung kenapa ngomelnya ke saya, saya dengarkan juga, “Ora mutu! (nggak bermutu). Masak istri guru SD disangka pelacur, orang minum teh botol dirazia aparat.“. “Waduh, yang benar Mbak?“, tanya saya. Rasanya emosi ingin segera meledak, namun berhubung lagi sakit jadi nggak bisa marah.
Mendengar cerita tentang korban prasangka pelacuran itu, saya lalu teringat reaksi saya ketika seorang teman menyodorkan sebuah draft. Katanya draft yang sama juga dibaca wakil-wakil di DPR, entah untuk tujuan apa. Hal terpenting yang saya ingat adalah kata-kata berikut: “Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya“
Sepintas saya langsung tahu, bahwa yang menyusun pastilah laki-laki, atau -paling tidak- berorientasi kepada maskulinitas. Bingungnya saya, laki-laki pun tidak semua setuju dengan pasal itu. Katanya Pak Putu Setia di Koran Tempo, masyarakat Bali cenderung melihat bagian tubuh yang sensual itu betis. Ketika perempuan menaiki tangga pura untuk mengantarkan persembahan dan betisnya tersingkap, itulah arti kata sensual.
Buru-buru saya harus mengendalikan pikiran-pikiran yang muncul-pergi tentang sensualitas, takut tidak terkontrol. Pun, akhirnya saya mengangguk-ngangguk ketika teman saya itu menjelaskan panjang lebar tentang isi draft keseluruhan.
Sekilas saya teringat perkataan seorang sahabat, “cantik menurut kamu, belum tentu cantik menurut saya. Seksi menurut kamu, belum tentu seksi menurut saya.“ Benar juga, toh saya lihat lagi, dalam draft itu ada kata ’antara lain’, yang berarti dapat diubah-ubah seperlunya empunya kuasa. Berarti pula saya jadi tahu bahwa, jangan-jangan, masyarakat kita ( yang diwakili bapak-bapak penyusun draft ) benar-benar hanya terobesi pada alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan.
Nathanael Gratias
nathan.3073@gmail.com