Iman Gado-gado

Dalam rubrik Konsultasi Iman majalah HIDUP tanggal 12 Agustus 2007, disebut tentang ’iman gado-gado’. Pertanyaan yang diajukan pembaca sebenarnya terkait reinkarnasi. Bagaimana (ternyata) reinkarnasi menjawab lebih banyak pertanyaan ketimbang ajaran iman. Karena Gereja Katholik menolak konsep reinkarnasi, maka umat diminta untuk mengikuti ajaran resmi gereja tanpa mencampur-adukkan bermacam ajaran, yang dinyatakan dengan istilah ‘iman gado-gado’ tersebut.

Saya tidak hendak menyoroti reinkarnasi, atau bagaimana ajaran gereja Katholik terkait kelahiran kembali. Saya justru tertarik melihat gado-gado yang ada dalam rubrik tersebut.

Terus-terang, saya tidak mengerti apa yang salah dengan iman gado-gado. Apabila yang dimaksud dengan iman gado-gado adalah mencari pemahaman baik melalui ajaran resmi atau tidak resmi, saya pikir kita semua pernah melakukan itu. Analogi sederhana, berapa banyak dari kita yang hapal mati semua kanon Gereja Katholik? Taruhlah kita belum tahu ajaran gereja tentang suatu hal, secara otomatis kita akan mengandalkan nalar, yang notabene didapat dari sumber hukum lain seperti norma, nilai, atau konvensi masyarakat. Dalam hal ini kita telah menggado-gado pemahaman yang didapat dari keber-agama-an dengan pemahaman yang kita dapat sebagai manusia yang bermasyarakat. Sepertinya kita akan seperti robot bila sedikit-sedikit harus melihat ’apa hukumnya’.

Lalu bagaimana dengan gado-gado yang dilakukan secara sengaja? Kita tahu tentang suatu ajaran, tapi memutuskan untuk tidak mengikutinya. Sepertinya ini yang menjadi sorotan terkait keyakinan reinkarnasi. Ada beberapa hal yang sebaiknya tidak kita lupakan. Pertama, bukankah banyak tindakan Yesus yang merupakan wujud iman gado-gado dalam pandangan orang Yahudi? Bila iman gado-gado merupakan sesuatu yang mutlak keliru, maka Yesus dapat dikatakan bukan contoh orang beragama yang baik karena Ia menggado-gado imannya.

Kedua, kembali kepada pertanyaan paling dasar dari semua, suara siapakah yang harus kita dengar dalam hidup ini? Suara orang lain yang seringkali keras, atau suara Tuhan yang selalu dibisikkan sangat halus dalam hati kita?

Iman seharusnya menjadi sesuatu yang membebaskan karena Allah bekerja di situ. Apabila iman dan pengenalan akan Allah bukan sesuatu yang statis maka ia butuh tempat untuk berkembang. Dalam diri pribadi, ia membutuhkan hati yang jujur dalam pencarian. Dalam komunitas, ia membutuhkan dukungan dan kebersamaan. Perkembangan iman tidak membutuhkan doktrin atau hukuman dalam bentuk dosa. Mengembangkan iman jelas bukan seperti membentuk sosok prajurit yang menempatkan reward and punishment sebagai poin penting.

Saya tidak ingin menjadikan tulisan ini sebagai anjuran untuk menggado-gado iman. Hanya saja, seringkali kita melupakan esensi dari banyak hal. Apa yang dimiliki Yesus tapi hilang dalam diri banyak dari kita barangkali adalah ketaatan pada Bapa. Sesuai tuntutan modernisasi, kita terlalu sibuk menyelaraskan diri kita dengan patron yang sudah ada. Sesuai tuntutan modernisasi, kita menyusun hierarki ketaatan, yang kepada mereka kita sukarela memberikan hak untuk membimbing. Kita merasa nyaman karena dengan menerima ajaran, kita tidak perlu bertanggung-jawab atas apa yang kita temukan. Kita takut, dan kita melupakan kata-kata Yesus ini, ”Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” (Nathanael Gratias Sumaktoyo)