Kelalaian dan Pembiaran
Dimuat dalam Majalah Mingguan Hidup tanggal 23 Juni 2013.
Ada beberapa perbedaan menarik antara ekaristi di Indonesia dan Amerika. Di Amerika, secara umum, misa berlangsung lebih cepat, hosti disajikan bersama dengan anggur, dan umat tidak meninggalkan gereja hingga lagu penutup selesai. Selain itu, di Amerika, pada musim panas akan mudah ditemui mahasiswa/mahasiswi yang datang misa dengan pakaian yang (mungkin) mengundang keprihatinan umat Indonesia. Uniknya, tidak jarang setelah misa selesai, mahasiswa/mahasiswi itu justru berdoa lama di depan altar atau meninggalkan mawar di lukisan Bunda Maria. Penampilan saat ke gereja sepertinya tidak selalu mencerminkan tingkat devosi.
Namun demikian, seberapa pun menariknya perbedaan-perbedaan itu, tidak ada yang lebih menarik bagi saya daripada perbedaan doa tobat sebelum Tuhan Kasihanilah. Dalam misa Indonesia, pertanyaan tobat diucapkan sebagai, “Saya mengaku … saya telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian …” Dalam misa Bahasa Inggris, umat mengucapkan doa itu sebagai, “I confess … that I have greatly sinned, in my thoughts and in my words, in what I have done and in what I have failed to do …” Pemetaan penyebab dosa terasa serasi sampai pada kata “kelalaian”. Pikiran dalam bahasa Inggris adalah thoughts, perkataan adalah words, perbuatan adalah what I have done, tapi kelalaian tidak sama dengan what I have failed to do.
Dosa Pembiaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lalai sebagai kata sifat artinya “kurang hati-hati; tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dsb); lengah” dan sebagai kata kerja artinya “tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu; terlupa”. Terimplikasi dalam semua definisi itu adalah ketidaksengajaan.
“In what I have failed to do”, di sisi lain, berarti kita mengaku berdosa karena “gagal melakukan hal yang harusnya kita lakukan”. Pertanyaannya kemudian, kenapa tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan? Di sinilah perbedaan doa tobat versi Indonesia dan Inggris menjadi menarik.
Ketika kita tidak melakukan sesuatu yang menjadi kewajiban kita, ada dua kemungkinan sebab. Sebab pertama, kita lalai. Kita secara tidak sengaja melewatkan kewajiban kita. Misalkan kita melihat korupsi tapi gagal melaporkannya ke pihak berwenang karena masalah rumah tangga membuat kita lupa, bisa dibilang kita bersalah karena lalai. Dosa kelalaian ini terartikulasi dengan baik dalam kedua versi doa tobat.
Sebab kedua pengingkaran kewajiban tercakup dengan baik dalam versi Inggris, tapi tidak dalam versi Indonesia. Selain karena lalai, kita juga bisa melewatkan kewajiban karena kita menolak melakukan apa yang harus kita lakukan dan dengan demikian melakukan sebuah dosa pembiaran (sin of omission). Dalam contoh sebelumnya, dosa pembiaran akan terjadi bila kita tidak melaporkan korupsi bukan karena sedang dipusingkan urusan rumah tangga, tapi karena takut hal itu membawa masalah bagi kita. Doa tobat versi Indonesia tidak secara jelas menganggap kegagalan melapor itu sebagai dosa karena ia bukanlah kelalaian. Sebaliknya, frasa “in what I have failed to do” versi Inggris akan secara lugas menangkap pembiaran demikian sebagai dosa.
Berani Peduli
Tulisan ini tidak mengatakan bahwa versi Inggris lebih baik. Alasan utama membandingkan kedua versi ini lebih kepada ketertarikan saya pada bagaimana perbedaan itu terkait dengan peranan orang Kristen dalam mewartakan kebenaran dan melakukan yang benar.
Sering kita merasa cukup hanya dengan menjadi penonton pasif. Di tengah bangsa yang korupsi, cukuplah untuk tidak korupsi. Di tengah diskriminasi dan intoleransi, cukuplah untuk tidak mendiskriminasi. Di tengah ketidakadilan, cukuplah untuk tidak berbuat tidak adil. Sayangnya, tidak jarang kepasifan justru melegitimasi ketidakadilan. Tanpa mereka yang peduli, penolakan terhadap ketidakadilan hanya akan datang dari mereka yang jadi korban. Hal itu tidak cukup. Kebenaran butuh suara.
Ketidakadilan, korupsi, dan berbagai hal jahat lain memang akan selalu ada. Kita tidak bisa menghapusnya. Tapi setidaknya kita bisa menolak membiarkannya terjadi begitu saja. Kita bisa jadi suara yang memprotes kejahatan-kejahatan itu. Seperti Yesus, kita bisa jadi suara yang mengatakan benar bila benar dan salah bila salah. Dalam konteks itulah, barangkali akan bermanfaat bila setiap minggu kita diingatkan bahwa dosa bukan semata tentang melakukan perbuatan jahat (an act of commission) tapi juga tentang membiarkan perbuatan jahat (an act of omission).