Mari Mencari Pengganti Surga

Bagi umat beragama, surga barangkali alasan paling umum untuk hidup saleh. Tentu saja ada alasan-alasan lain seperti takut dihukum Tuhan, mengumpulkan pahala, atau justru karena alasan yang lebih tulus, panggilan nurani. Sebagai lawan dari surga, sering konsep tentang neraka menakutkan kita. Tentu saja kita boleh yakin tak ada yang ingin masuk kesana, sebab katanya neraka panas dan penuh siksaan. Ternyata ujung-ujungnya kembali ke sifat dasar manusia, suka bersenang-senang.

Mari kita berandai-andai sejenak, apa yang terjadi bila surga tidak ada? Sebagai kemungkinan pertama, kita khawatir sekelompok orang akan protes dan berdemonstrasi. Berdemonstrasi karena tempat kesenangan abadinya dirusak. Kemungkinan kedua, kita bayangkan tempat ibadah akan sepi seketika. Lah cari apa lagi, tujuan beragama kan masuk surga, kalau surganya tidak ada lalu mau kemana? Kemungkinan ketiga, kita menemukan ketulusan dalam perbuatan baik. Tentu masih ada kemungkinan keempat dan seterusnya, namanya manusia tentu penuh dengan kemungkinan, tapi tidak akan dibahas lebar-panjang disini.

Untuk meneruskan pengandaian itu, mari kita coba menemu-ciptakan pengganti surga.

Barangkali sesuatu itu adalah kesenangan? Semacam kesenangan yang muncul ketika kita bermain di taman hiburan, mendapat hadiah dari orang tersayang, atau mungkin malah kesenangan seksual. Kenapa tidak? Toh, masyarakat juga sering menyebut para pekerja seks sebagai penjaja surga dunia. Tapi apa kesenangan dapat menggantikan surga?

Untuk menjawabnya tentu kita harus menelusuri syarat-syarat surga. Tanpa berpikir terlalu lama, kita tahu dua hal tentang surga. Satu, surga harus menyenangkan. Syarat ini jelas, kalau tidak menyenangkan orang tidak terobsesi ke sana. Kedua, surga harus abadi. Ini juga jelas, kalau tidak abadi, orang pasti was-was, sebab suatu saat harus keluar dari surga dan berjuang lagi.

Kesenangan tentu memenuhi syarat pertama. Namanya kesenangan pasti menyenangkan. Syarat kedua? Belum tentu, sebab ada ungkapan ‘hidup manusia kadang di atas, kadang di bawah’. Tidak ada orang yang selalu bahagia, sekaya atau setenar apapun dia. Dapat dibilang tidak ada kesenangan yang abadi.

Pilihan kedua layak kita jatuhkan pada ketakwaan, menuruti perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Karena ada (kata) ‘Tuhan’, mungkin ia cocok menjadi surga. Melihat syarat pertama, kita sudah perlu berpikir. Takwa tidak selalu menyenangkan. Namanya menuruti perintah, jadi hamba, jelas tidak menyenangkan. Apalagi surganya tidak ada. Pahala, seperti banyak orang yakini adalah upah atas ketakwaan kita, tidak ada gunanya lagi. Lha, pahala kan tiket masuk surga, kalau surganya tidak ada, untuk apa menabung pahala?

Atau barangkali kita harus melihat ketakwaan dari sisi lain? Bahwa ketakwaan adalah usaha membuat Tuhan tidak marah. Kemudian kita menurunkan sedikit taraf tentang kesenangan. Tidak perlu macam-macam, asalkan Tuhan tidak menurunkan bencana kita sudah senang. Dengan sedikit mekso, kita telah memenuhi syarat pertama.

Menuju syarat kedua, harus diakui ketakwaan sulit berlangsung terus-menerus. Tapi mengingat banyak orang beriman di bumi ini, bolehlah kita melonggarkan syarat kedua. Selesai? Sepertinya sudah. Tapi jika dicermati, rasanya kita perlu menambahkan satu syarat lagi: bebas dari kekhawatiran. Namanya surga tentu tidak boleh ada rasa khawatir. Tanya saja pemuka agama yang rajin bercerita tentang surga, apa di surga ada rasa khawatir.

Pertanyaannya, dengan model ketakwaan dan surga seperti itu, apakah ia memenuhi syarat ketiga? Jangankan bebas dari rasa khawatir, model seperti itu justru menampilkan kekhawatiran yang kuat. Khawatir Tuhan marah, khawatir diturunkan bencana, dan berbagai kekhawatiran lain. Karena terlalu banyak kekhawatiran, kita juga boleh khawatir ketakwaan versi ini tidak cukup baik untuk menjadi surga.

Terobsesi menemu-ciptakan pengganti surga, kita mencoba kedamaian. Untuk mengkaji dua syarat pertama, lagi-lagi kita sudah harus berpikir jauh. Sebagai permulaan, kita mengunjungi lawan dari kedamaian yaitu kebencian. Takkan ada kedamaian bila ada kebencian, karenanya kita memerlukan pengampunan. Maaf untuk dihadirkan ketika kita merasa disakiti, sehingga kebencian tidak hadir dan perdamaian tetap tinggal.

Pengampunan mungkin tidak menyenangkan. Setidaknya, ia tidak memenuhi kebutuhan manusia untuk keadilan. Ia tidak menganggap yang dipukul harus balas memukul, ia juga tidak meyakini yang disakiti berhak menyakiti. Ia mungkin lebih tepat digambarkan sebagai cinta (eros). Plato menggambarkannya dengan baik dalam Symposion: “Dalam penderitaan dan ketakutan, dalam keinginan dan pemikiran, dialah pemimpin kita yang terbaik. Eros adalah hasrat kita yang tak pernah padam untuk yang benar, yang baik, dan yang indah.” Kata kuncinya adalah yang benar, yang baik, dan yang indah.

Memaafkan memang tidak memuaskan ego akan pembalasan, tapi ia memenuhi yang lebih tinggi, kebutuhan jiwa. Kebutuhan akan sesuatu yang baik, yang dalam bahasa para Stoa dikatakan sebagai ‘pandu batiniah’. Memaafkan mungkin tidak dapat diterima, tetapi bagi jiwa ia menghidupkan dan menyenangkan.

Tentang keabadian, dapatkah kita menerima bahwa kedamaian abadi dalam jiwa? Tentu saja masuk akal mengatakan kedamaian adalah bawaan jiwa, ada sejak jiwa ada. Sebab tidaklah mungkin milyaran manusia mencari-cari kedamaian, bila tidak ada gambaran nyata, pengalaman konkret, seperti apakah ia. Kedamaian ada dalam jiwa, abadi, menunggu ditemukan. Ego-lah yang menghalangi kita untuk menemukannya.

Dengan sedikit berfilsafat kita telah memenuhi dua syarat pertama. Syarat ketiga tentang bebas dari rasa khawatir, terjawab dengan melihat arti damai itu sendiri. Bahwa tidaklah mungkin merasakan kedamaian bila ada kekhawatiran. Kedamaian itu sendiri, dari dirinya telah berlawanan dengan kekhawatiran. Sehingga apa yang dinamakan kedamaian tidak mungkin mengandung kekhawatiran. Tampaknya kedamaian adalah calon terbaik pengganti surga.

Lepas dari pengandaian di atas, surga memang sebuah konsep yang mengagumkan. Seakan ingin mengajak manusia lepas dari berbagai himpitan hidup, ia menawarkan kesenangan. Bahkan lebih dari kesenangan biasa, ia menawarkan kesenangan abadi. Permasalahannya bukan pada kesenangan itu, tapi apa yang harus manusia lakukan untuk mencapainya.

Seringkali, kita begitu terobsesi pada surga hingga lupa bahwa hidup kita masih di bumi. Bahwa hidup itu harus berbagi dengan milyaran manusia lain, dan bahwa tanggung-jawab kita sekarang adalah memanusiakan manusia. Seperti mengenakan kacamata kuda, kita sering bersedia melakukan apa saja asal dapat mengkapling surga. Sisi gelapnya, ‘apa saja’ itu tidak jarang berupa kekerasan. Kekerasan untuk membela apa yang diyakini sebagai kebenaran agama, kebenaran Tuhan, yang pada akhirnya merupakan usaha menabung pahala, tiket surga. Pada situasi seperti itu, ketika surga menjadi tempat tujuan egoisme untuk bersenang-senang, barangkali memang lebih baik ia tidak pernah ada. (Nathanael Gratias Sumaktoyo)