Membawa Filibuster ke DPR

Selasa (25/7) pagi adalah saat bersejarah di negara bagian Texas yang merupakan basis partai Republik. Senator Wendy Davis dari partai Demokrat melancarkan filibuster terhadap sebuah rancangan peraturan yang, seperti ditekankan para penentangnya,  akan menutup klinik aborsi resmi dan membahayakan kesehatan reproduksi perempuan. Senator Davis mengkritisi rancangan tersebut selama 12 jam tanpa makan, duduk, pergi ke kamar kecil, dan minum. Pada akhirnya, ia sukses menggagalkan peraturan tersebut.

Secara sederhana, filibuster adalah upaya untuk menghalangi pengesahan sebuah produk legislatif dengan menunda pemungutan suara atasnya. Bila suatu rancangan undang-undang (RUU) tidak dapat dihitung suara pendukung dan penentangnya, tentu saja RUU tersebut tidak dapat disahkan. Anggota parlemen umumnya menggunakan pidato kritik atas RUU sebagai taktik penundaan. Pelaku filibuster bicara tanpa henti mulai dari saat sidang dibuka sampai kapanpun batas waktu RUU tersebut..

Seperti yang senator Davis tunjukan, filibuster efektif untuk menghalangi RUU yang didukung oleh mayoritas tapi berpotensi merugikan kelompok kecil di masyarakat. Dalam konteks melindungi kelompok-kelompok marginal dari intervensi kelompok yang lebih kuat itu lah kita bisa memahami bagaimana mengenalkan filibuster pada DPR kita dapat meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.

Mengapa  Filibuster

Sebagai awalan, filibuster dapat meningkatkan legitimasi sebuah produk perundang-undangan. Karena tujuan filibuster adalah menghalangi RUU yang merugikan kelompok marginal di masyarakat, apabila dalam pembahasan suatu RUU kontroversial tidak ada seorang pun yang melakukan filibuster terhadap RUU itu, kita bisa menyimpulkan bahwa RUU itu sejatinya masih bisa diterima oleh semua pihak.

Lebih jauh lagi, filibuster dapat memecah kebuntuan aspirasi yang sering dikeluhkan dalam politik kita. Saat ini, semua aspirasi harus melalui partai. Sayangnya, tidak ada jaminan aspirasi-aspirasi tersebut akan mempengaruhi sikap partai karena partai juga harus menimbang berbagai macam isu dan memilih posisi terbaik yang menguntungkannya. Ketika partai menganggap suatu isu tidak penting, hampir tidak ada yang bisa dilakukan rakyat awam.

Filibuster memecah kebuntuan tersebut. Dalam konteks RUU kontroversial, para penentang RUU tidak lagi harus bersandar pada partai. Mereka juga tidak perlu lagi memenangkan mayoritas parlemen. Mereka hanya perlu mencari satu anggota DPR yang bersedia melakukan filibuster untuk mereka. Dengan filibuster, bahkan ketika semua partai setuju, rakyat awam—dengan bantuan seorang anggota dewan—tetap dapat berkata “tidak”.

Terakhir, filibuster dapat mendorong kelompok marginal di masyarakat untuk aktif dalam politik. Saat ini, tidak ada insentif bagi kelompok-kelompok itu untuk terlibat dalam politik. Jumlah mereka yang kecil membuat suara mereka tenggelam oleh suara kelompok yang lebih besar atau berkuasa. Filibuster menawarkan terobosan dengan mendorong kelompok-kelompok itu untuk membentuk partai gerakan mereka sendiri. Sebagai partai gerakan, tujuan mereka hanyalah melindungi konstituennya dan bukan menguasai parlemen.

Partai gerakan tidak dapat berbuat banyak dalam sistem kita sekarang yang mengandalkan suara mayoritas. Tapi, partai gerakan akan sangat diuntungkan oleh adanya filibuster. Kelompok-kelompok marginal tidak akan lagi dipusingkan bagaimana memperoleh kursi banyak. Mereka hanya perlu membuat partainya lolos ambang batas parlemen. Dengan filibuster, secara ekstrem dapat dibilang bahwa bahkan satu anggota dewan dapat membuat perbedaan. Tentu saja filibuster itu sendiri perlu diatur sehingga tidak melumpuhkan pemerintah. Tapi setidaknya, ia akan menjadi mekanisme penyeimbang bagi kekuasaan oligarkis partai yang mendominasi proses legislasi selama ini.

Dua Sisi Demokrasi

Namun demikian, bisa saja kita keberatan dan mengatakan filibuster tidak demokratis. Tidak adil bila filibuster satu orang menegasikan keputusan orang banyak. Filibuster tidak demokratis, bila kita mendefinisikan demokrasi hanya sebagai mayoritas harus didengarkan (majority rules). Demokrasi juga tentang minoritas harus dilindungi (minority rights). Melindungi mereka yang terkecil dan terlemah di antara kita sama pentingnya dengan menangkap aspirasi mereka yang banyak.

Kita tidak bisa melindungi mereka yang termarginalkan dengan hukum bila hukum itu sendiri sudah diskriminatif. Karena itulah, menjadi penting untuk memberi perlindungan sejak proses legislasi dengan cara memberi mereka kesempatan untuk menghalangi RUU yang akan mendiskriminasi mereka.

Tidak ada yang meragukan bahwa kita semakin cakap dalam menangkap aspirasi masyarakat. Sayangnya, kita masih sering mengabaikan mereka yang terpinggirkan karena perbedaan agama, etnisitas, status ekonomi, atau cara hidup. Bila kita menginginkan demokrasi kita menjadi lebih dari sekedar demokrasi “50% plus satu”, kita perlu terus mencari cara untuk melindungi dan memahami secara lebih baik suara mereka yang termarginalkan. Filibuster, meskipun mungkin aneh untuk standar kita sekarang, bisa jadi satu alternatif untuk melakukan hal tersebut. (*)