Mengapa Demokrasi

Dalam waktu setahun, Indonesia akan menyelenggarakan pemilu nasional. Dalam teori demokrasi, pemilu merupakan kesempatan bagi rakyat untuk membuat suaranya didengar. Sayangnya, teori tidak selalu sejalan dengan realita. Berbagai permasalahan bangsa memaksa kita untuk mempertanyakan lagi efektifitas demokrasi. Apa harga demokrasi sebanding dengan manfaatnya?

Harga Demokrasi

Dari sisi finansial, demokrasi jelas mahal. Logistik pemilu 2014 akan menelan setidaknya Rp 16 Trilyun. Pemilu Amerika 2012 (termasuk pengeluaran kampanye kandidat) menelan Rp 60 Trilyun—kira-kira Rp 200.000 per pemilih. Bukankah akan lebih baik kalau uang itu dipakai untuk hal lain semacam pengentasan kemiskinan?

Dari segi dinamika politik, demokrasi identik dengan perbedaan dan disharmoni. Perbedaan tidak terhindarkan karena demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, yang dalam artinya paling literal menjamin baik mereka yang mengutarakan fakta maupun kabar burung, mereka yang bicara dengan akal sehat maupun mereka yang bicara karena fanatisme. Apabila yang kita cari adalah harmoni dimana setiap orang menarikan tarian politik yang sama, demokrasi barangkali pilihan yang kurang pas. Menimbang kesulitan-kesulitan di atas, apa kemudian alasan memilih demokrasi?

Mengapa Demokrasi

            Pertanyaan “Mengapa demokrasi?” dapat dijawab secara empiris dan teoritis. Dalam tataran empiris, beberapa studi (misal, Freedom House) menunjukkan bahwa demokrasi memiliki hubungan positif dengan penghargaan hak asasi manusia. Negara demokrasi lebih baik dibanding negara non-demokrasi dalam menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat, dan beragama warganya.

Studi lain (misal, oleh Ronald Inglehart dari University of Michigan) menunjukkan hubungan demokrasi dengan kepuasan hidup. Masyarakat negara demokrasi memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dibanding masyarakat negara non-demokrasi. Relasi ini umumnya dijelaskan oleh tingkat pendapatan masyarakat negara demokrasi yang lebih tinggi dibanding negara non-demokrasi.

Lebih penting dari manfaat materialis demokrasi adalah idealisme demokrasi. Apa sebenarnya yang demokrasi tawarkan? Mengapa demokrasi?

Demokrasi, bahkan dalam definisi paling sederhananya sebagai pemilu yang bebas, menawarkan kesempatan bagi rakyat untuk keliru dan untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Dalam pemilu, rakyat—setiap rakyat, bukan hanya mereka yang terpelajar, kaya, mahir agama, atau berdarah biru—memilih pemimpinnya. Karena pemilih adalah manusia biasa, di negara demokratis manapun, mereka dapat keliru memilih pemimpin. Kadang mereka memilih pemimpin yang kemudian malah menjadi diktator. Kadang mereka keliru memilih pemimpin yang ternyata tidak punya ketegasan.

Tapi sama seperti demokrasi membuka peluang bagi kekeliruan itu, ia juga membuka peluang untuk memperbaikinya secara damai. Sepanjang sejarah dunia, suara pemilih (ballots) dalam pemilu yang bebas telah menurunkan banyak pemimpin berkinerja buruk, barangkali lebih banyak dari peluru (bullets) menumbangkan diktator.

Pertanyaannya, kenapa harus memilih sistem yang membuka celah untuk kekeliruan? Kenapa tidak memilih sistem yang sudah menjabarkan semuanya sehingga tidak mungkin salah, barangkali sebuah sistem negara agama?

Ketidaksempurnaan

Tahun 1600an, filsuf politik John Locke coba menjawab pertanyaan itu. Locke berargumen bahwa sistem pemerintahan yang baik bukanlah sistem yang tidak mungkin salah. Sistem yang baik adalah sistem yang memungkinkan diperbaikinya kesalahan-kesalahan. Ia dengan tepat menyampaikan bahwa karena manusia tidak luput dari kesalahan, sistem sesempurna apapun (bahkan sistem yang “berasal” langsung dari Tuhan) pasti akan diterjemahkan dan dipraktekkan secara tidak sempurna. Sebagai makhluk tidak sempurna, yang manusia perlukan bukanlah sebuah sistem sempurna yang sudah final melainkan sebuah sistem dinamis yang memperhitungkan kemungkinan manusia untuk keliru dan pada saat bersamaan memungkinkannya untuk memperbaiki kekeliruan itu.

Dalam konteks itulah demokrasi menjadi pilihan wajar. Pemilu yang bebas sebagai syarat minimal demokrasi adalah kesempatan memilih antara membuat kekeliruan atau memperbaiki kekeliruan. Ia menjadi kekeliruan bila rakyat memilih untuk tidak peduli atau memilih karena dasar politik uang, ras, agama, atau pertimbangan dangkal lain. Ia menjadi kesempatan memperbaiki kekeliruan ketika rakyat memakainya untuk menghukum para pemimpin yang mengingkari, dan mengapresiasi mereka yang menepati, janjinya.

Demokrasi seperti manusia, bisa keliru dan bisa benar. Ia mampu untuk belajar dan berubah, sepanjang manusia di baliknya mau untuk belajar dan berubah juga. Jauh sebelum kita frustrasi atas demokrasi kita, Bung Hatta telah menyadari bahwa demokrasi bisa melelahkan. Namun demikian, ia tetap menulis dengan optimisme, “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tapi setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan.” Apakah 2014 akan menjadi tahun keinsafan itu masih harus kita lihat bersama.