Tanda Kebesaran Allah
Ada sebuah cerita. Suatu ketika, Pak Tua merasa hari itu adalah saat terakhir hidupnya. Sebagai seorang yang senantiasa belajar tentang Allah, Pak Tua ingin hari terakhir itu memberinya lagi satu pelajaran tentang Allah. Ia mengundang kerabat-kerabat dan tetangganya, memberinya satu permintaan, ”Tunjukkan pada saya tanda kebesaran Allah yang paling mengagumkan.”
Kerabatnya tidak asing lagi dengan permintaan-permintaan aneh Pak Tua. Bergegas mereka mencari orang yang kiranya dapat memenuhi permintaan itu. Di penghujung hari, berkumpulah orang-orang bijak tingkat kampung lengkap dengan aksesoris dan dandanan kebesaran masing-masing. Mereka sudah menyiapkan jawaban yang pasti akan mencengangkan Pak Tua.
Orang pertama, seorang ilmuwan biologi. Di hadapan Pak Tua, ia menjelaskan berbagai macam hal mengagumkan tentang tubuh manusia. Bagaimana metabolisme dapat berjalan, bagaimana organ saling mendukung satu sama lain, dan berbagai hal lain yang (menurut ilmuwan tersebut) tidak mungkin dapat diciptakan oleh manusia. Seperti sudah diduga, Pak Tua tercengang. Ia tidak pernah sekolah, hanya belajar dari alam dan orang-orang tua sebelumnya, hal-hal demikian tidak pernah ia tahu.
Selanjutnya, seorang ahli astronomi. Ia mengajak Pak Tua keluar ruangan, dan menunjukan kepadanya bintang-bintang di langit. Karena desa Pak Tua belum masuk listrik, gugusan-gugusan bintang itu jelas sekali. Si pakar astronomi menjelaskan bagaimana bumi bahkan tidak lebih besar dari debu di lautan semesta. Jutaan tata surya di dalam Bima Sakti, dan miliaran Bima Sakti di semesta. Semua penjelasan itu berujung pada, ”Bayangkan Pak Tua, betapa besar Allah yang menciptakan semua itu.” Pak Tua sangat terkesima, selama ini ia tidak pernah tahu ada bintang di balik bintang.
Penyaji ketiga (barangkali) adalah orang tersuci di kampung. Kepala rumah ibadat setempat. Seorang yang selalu dimintai pendapat bahkan untuk hal sepele seperti tanggal sunatan. Kepala rumah ibadat ini menyajikan kitab suci dan hukum-hukum Allah sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Tua. Di depan Pak Tua dan segenap warga desa, dengan meyakinkan dan berapi-api ia menceritakan sejarah kitab suci. Bagaimana kitab suci menjadi seperti sekarang, apa yang ada di dalamnya, dan hikmat Ilahi yang (menurutnya) hanya bisa didapat bila membaca kitab suci. Tidak lupa, sebagai penutup sang pemuka agama mengingatkan Pak Tua betapa bobroknya dunia saat ini. Kebobrokan dunia ini diyakini karena manusia sudah meninggalkan kitab suci. ”Solusi satu-satunya adalah kembali ke kitab suci!”, demikian sang pemuka menutup khotbahnya. Pak Tua hanya mengangguk-angguk. Ia menyadari memang jarang membaca kitab suci, dan menurut penilaian dirinya sendiri, ia bukanlah orang suci. Setidaknya, Pak Tua merasa tidak sesuci dan sebaik si pemuka agama.
Penyaji-penyaji berikutnya tampil ke muka, dan sekalipun tamu-tamu lain sudah lelah, Pak Tua tetap antusias menyimak semua topik yang diajukan sebagai jawaban atas pertanyaan, ”Apakah tanda kebesaran Allah?” Tibalah saat bagi penyaji terakhir, yang justru tampaknya belum pantas disebut penyaji. Seorang anak kecil, yang bahkan dikenal tidak pintar. Pak Tua penasaran dan menanyakan padanya, ”Apa yang ingin kamu sampaikan Nak?”
”Tidak ada Pak Tua, saya hanya ingin bercerita. Mama saya punya taman. Saya tidak tahu awal pertama taman itu ditumbuhi tanaman, yang saya tahu hanyalah begitu saya menyadarinya taman itu telah dipenuhi tanaman beraneka macam. Tidak lama, saya menyadari ada masalah pada taman itu. Beberapa tanaman tumbuh dengan baik dan indah sekali, beberapa hidup tapi tidak berbunga, dan beberapa yang lain tampak layu. Saya sudah menyarankan kepada Mama, bukankah taman itu akan terlihat lebih indah bila tanaman-tanaman yang layu disingkirkan?
Teman-teman saya menyarankan hal lain. Menurut mereka, perlu dipisahkan antara tanaman yang baik dan tanaman yang buruk. Dikelompokkan menurut seberapa indah penampakan mereka. Tapi Mama selalu menolak. Saya tidak mengerti alasannya. Saya mendesak Mama untuk mengatakannya tapi ia selalu mengatakan saya belum bisa mengerti. Hingga akhirnya, setelah desakan yang kesekian puluh kali, ia bertanya pada saya: Manakah yang kamu sukai Nak? Taman atau tanamannya? Jelas saya menjawab: Saya suka taman yang indah Ma! Saya tidak mengerti, tapi yang Mama saya katakan adalah: Itulah Nak. Kamu mencintai tamannya, karena itu kamu dapat menyingkirkan tanaman layu demi keindahan taman. Mama mencintai tanamannya, setiap tanaman yang ada di taman itu. Tidak masalah apakah tanaman itu indah, tidak berbunga, atau bahkan layu, Mama mencintai dan tidak akan menyingkirkannya hanya demi taman yang indah.”
Setelah bercerita demikian, anak itu memandang Pak Tua dan berkata, ”Bukankah Allah seperti itu, Pak Tua? Dan bukankah itu adalah yang membuat Allah sungguh besar? Cinta tanpa batas, sekalipun kepada orang yang kita pikir tidak pantas dicintai.”
(Nathanael Gratias Sumaktoyo)