Pilkada DKI: Tanpa Data Kita Buta
In God we trust, all others must bring data.
(W. Edwards Deming)
Pilkada DKI sudah selesai dan kita sudah tahu pemenangnya, setidaknya versi Quick Count. Selamat buat yang menang, salut untuk pengabdian yang kalah selama ini. Saya tidak akan menulis kenapa Ahok kalah. Biarlah itu menjadi urusan pengamat. Yang akan saya tulis adalah mengapa menurut saya ilmuwan politik Indonesia baru saja melewatkan kesempatan emas untuk memahami secara lebih mendalam karakteristik pemilih Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya.
Saya akan beri dua contoh ketidakmampuan kita menjawab secara memuaskan dua pertanyaan penting, dan apa yang bisa kita lakukan di masa depan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara lebih baik.
I. Kita Belum Bisa Menjawab Secara Meyakinkan Kenapa Orang Memilih Ahok atau Anies
Sudah banyak laporan survei tentang alasan-alasan orang memilih Ahok dan Anies. Sayangnya, survei-survei itu menerima begitu saja jawaban responden dan tidak membedakan dua kemungkinan skenario:
(1) Skenario evaluasi: Responden menimbang karakteristik kedua kandidat secara matang, kemudian memakai pertimbangan itu sebagai alasan memilih. Ini skenario favorit para pengamat karena menggambarkan voters sebagai sosok yang rasional dan penuh pertimbangan.
(2) Skenario justifikasi psikologis: Responden sudah menentukan pilihan dan kemudian, ketika ditanya oleh survei, mencari alasan untuk menjustifikasi pilihan itu. Konsekuensi dari skenario ini adalah jawaban yang diberikan responden akan terlihat lebih rasional ketimbang alasan mereka yang sebenarnya, yang bisa jadi lebih emotional, sociological, atau psychological.
Skenario justifikasi psikologis bukan barang baru karena ia berasal dari teori disonansi kognitif (Festinger 1954). Studi-studi di Amerika banyak mendokumentasikan efek justifikasi psikologis ini. Sebagai contoh, Carsey dan Layman (2006) menemukan bahwa bukannya preferensi kebijakan menentukan afiliasi partai (party ID) seperti lazim diasumsikan model-model pilihan rasional (rational choice model), tapi justru party ID yang membentuk preferensi kebijakan. Hal yang sama juga bisa terjadi pada pilihan kandidat. Alih-alih memilih kandidat berdasar alasan tertentu, bisa jadi alasan-alasan dibuat untuk menjustifikasi pilihan yang sudah dibuat.
Alih-alih memilih kandidat berdasar alasan tertentu, bisa jadi alasan-alasan dibuat untuk menjustifikasi pilihan yang sudah dibuat.
Bagaimana Membedakan Efek Evaluasi dengan Efek Justifikasi Psikologis?
Membedakan efek evaluasi dengan efek justifikasi bukan hal sulit. Kuncinya ada di teknik pengumpulan data. Kebanyakan survei menarik sampel baru setiap melakukan survei. Tapi untuk membedakan efek evaluasi dengan efek justifikasi psikologis, kuncinya adalah mewawancara responden yang sama berulang-ulang. Istilahnya: longitudinal atau panel data.
Dengan panel data, kita bisa membuat cross-lagged model seperti dalam gambar. Model ini bisa kita estimasi dengan structural equation modeling (SEM). Kita bisa lihat efek apa yang signifikan secara statistik. Apakah hanya efek evaluasi (yang berarti responden sungguh memilih kandidat berdasarkan alasan-alasan tertentu), hanya efek justifikasi (yang berarti jawaban responden dalam survei semata menjustifikasi pilihan mereka), atau keduanya?
Figure 1. Cross-lagged Model
II. Kita Belum Bisa Menjawab Secara Meyakinkan Seberapa Besar Efek Agama dan Suku
Saya pernah menulis tentang ini dalam Note “Adakah SARA dalam Pilgub DKI.” Pada prinsipnya, cara bertanya lembaga-lembaga survei kita masih sangat naif. Untuk menanyakan efek politik uang, kita bertanya (kira-kira) “Apabila ada kandidat yang menawari Bapak/Ibu uang, apakah Bapak/Ibu akan mencoblos kandidat tersebut?” Untuk menanyakan efek agama (atau suku), kita bertanya “Apakah pilihan gubernur Bapak/Ibu dipengaruhi agama (suku)?”
Cara bertanya seperti itu tidak realistik karena (1) Responden bisa saja malu mengakui pilihan mereka dipengaruhi sentimen primordial, atau (2) Responden bisa tidak sadar kalau pilihannya dipengaruhi sentimen primordial. Lebih tidak realistik lagi adalah pengamat yang melihat jumlah massa yang besar dalam 411 atau 212 dan kemudian menyimpulkan begitu saja bahwa agama memiliki peran besar dalam menjatuhkan Ahok. Bagaimana kalau efek agama sebenarnya merupakan kamuflase dari sentimen anti-Cina? Mungkin orang takut dibilang rasis kalau menolak Ahok karena ia keturunan Tionghoa jadi mereka menolak dia memakai alasan agama. Lagipula, bukan kah agama selalu menjadi justifikasi apapun di negeri ini?
Salah satu cara menjawab pertanyaan tentang sentimen primordial ini dengan lebih baik adalah melalui survei eksperimen. Responden dibagi ke dalam kelompok-kelompok, dan tiap-tiap kelompok diberi stimulus yang menekankan aspek primordial tertentu. Ini yang saya lakukan dalam studi “Adakah SARA dalam Pilgub DKI.”
Tapi sebenarnya kita masih bisa melakukan hal yang lebih baik ke depannya. Survei eksperimen saya hanya dilakukan satu kali. Apabila dalam pilkada-pilkada selanjutnya kita bisa melakukan survei eksperimen yang sama berulang kali, kita bisa melihat pergerakan sepanjang waktu. Apakah sentimen agama semakin menguat atau melemah semakin dekat ke hari pencoblosan? Dalam kelompok masyarakat seperti apakah sentimen agama paling berpengaruh?
Sains bukan hanya tentang pertanyaan yang kita ajukan, tapi juga cara menjawabnya.
Ilmu politik Indonesia sejatinya sudah melangkah maju. Dari sekedar opini berbasis observasi, kita sekarang punya hard data berbasis survei opini publik yang rutin dilakukan berbagai lembaga. Tapi itu belum cukup. Cara bertanya dan metodologi kita harus terus dikembangkan.
Sains bukan hanya tentang pertanyaan yang kita ajukan, tapi juga cara menjawabnya. Tidak mungkin menjawab pertanyaan dengan baik tanpa data yang baik pula. Pilkada DKI sudah berakhir, yang berarti berakhir pula kesempatan kita untuk mengumpulkan data yang baik. Tapi akan ada pilkada-pilkada berikutnya, kesempatan untuk membenahi cara kita menganalisis perilaku pemilih dan mengumpulkan data yang lebih baik. Karena tanpa data kita buta.