PKS dan Ramalan yang Gagal

Tahun 1956, Leon Festinger dan dua koleganya merilis penelitian mereka dalam buku When Prophecy Fails. Buku ini menarik karena Festinger dan kawan-kawan sampai menyusup ke sebuah sekte akhir jaman. Sekte ini, dipimpin Dorothy Martin, percaya dunia akan berakhir 21 Desember 1954. Dorothy mengaku mendapat pesan itu dari penghuni planet Clarion.

Sebagai seorang ilmuwan, Festinger tentu skeptis dengan klaim demikian. Menariknya, alih-alih mengejek, Festinger justru meneliti kelompok itu. Ia tertarik untuk memahami apa yang akan dilakukan kelompok itu setelah mereka sadar dunia belum akan berakhir 21 Desember 1954. Apakah sekte itu akan—mengutip istilah populer sekarang—kembali ke jalan yang benar?

Festinger terkejut ketika ia menemukan bahwa kiamat yang batal justru membuat anggota sekte itu semakin teguh pada imannya. Mereka tidak menyalahkan Dorothy, malah menganggapnya penyelamat dunia. Kelompok ini percaya pengorbanan mereka meninggalkan keluarga dan semua harta benda lah yang menghindarkan dunia dari kiamat.

Temuan Festinger ini membidani lahirnya teori disonansi kognitif (cognitive dissonance theory). Basis teori ini sederhana: manusia ingin semua kognisinya (ide atau kepercayaan) konsisten satu sama lain. Kognisi yang inkonsisten membuat gelisah dan harus dinetralisir. Dalam konteks sekte Dorothy, kognisi yang bertentangan itu adalah iman mereka akan kiamat 21 Desember 1954 dan kenyataan mereka tetap hidup tanggal 22 Desember 1954.

Untuk mengatasi pertentangan kognisi ini, sekte itu memiliki dua opsi. Opsi pertama, mereka mengaku salah. Opsi ini rasional, tapi Festinger melihat ganjalan. Bila sekte ini mengaku salah berarti mereka mengaku bahwa mereka “bodoh”. Mereka “bodoh” karena tertipu oleh Dorothy. Mengakui kesalahan memang menyelesaikan disonansi kognitif yang dialami, tapi ia juga menghadirkan perasaan “bodoh” yang tidak nyaman. Sekte ini mengambil opsi kedua. Dengan menganggap iman mereka sudah menghindarkan dunia dari kiamat, sekte ini menjembatani inkonsistensi ide kiamat dengan kiamat yang batal. Disonansi kognitif teratasi tanpa harus merasa bodoh.

60 tahun setelah penelitian Festinger, kita menyaksikan lagi disonansi kognitif di ruang publik. Penangkapan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq (LHI) oleh KPK atas tuduhan korupsi menginisiasi aksi di Facebook dan Twitter. Kader-kader PKS mengafirmasi dukungan mereka kepada partai dan LHI. Aksi ini fenomenal karena yang terlibat bukan elit PKS, tapi aktivis akar rumput. Elit membela elit itu biasa. Kader membela elit hanya ada di PKS.

Sayangnya, aksi ini menjadi mirip disonansi kognitif ketika perbincangan mengarah pada teori konspirasi. Beberapa menulis bahwa penangkapan ini memiliki agenda politik terselubung atau bahwa liputan media yang berlebihan adalah pesanan pihak ketiga. Dalam pengertian ini, kader-kader PKS berusaha mendamaikan dua kognisi yang bertentangan—PKS partai yang bersih dan presidennya tersangka korupsi—melalui proposisi “karena PKS partai bersih, maka LHI tentu korban konspirasi”.

Sama seperti sekte kiamat Dorothy, kader-kader PKS sebenarnya memiliki pilihan perspektif lain selain teori konspirasi. Perspektif ini mengedepankan pengakuan bahwa manusia adalah “tempat salah dan lupa”. Tanpa mengingkari azas praduga tak bersalah, siapapun tidak bisa memungkiri bahwa elit PKS adalah manusia juga. Sistem politik kita yang bobrok dapat mengubah bahkan orang paling berintegritas sekalipun. Hal demikian bukan ketidaknormalan. Sebaliknya, justru hal tersebut sangat normal. Adalah kecenderungan manusia untuk tunduk pada tekanan sosial.

Ketika kader-kader PKS dapat menerima kenyataan bahwa partainya tidak seputih yang diharapkan, tiga hal—yang semuanya positif bagi PKS—akan menjadi jelas. Pertama, riuh-rendahnya kritikan terkait LHI justru menunjukkan bahwa PKS sukses mengampanyekan citra partai yang bersih. Bila citra itu tidak terjual, tentu masyarakat tidak akan repot-repot membandingkan citra dengan kenyataan. Masyarakat hanya berharap PKS dapat hidup sesuai citra itu.

Kedua, kasus yang menimpa LHI bisa jadi sarana kader untuk “bangun tidur”. Penggunaan retorika agama oleh PKS mengonstruksikan elit-elitnya sebagai pribadi religius yang—hampir tidak—mungkin salah, apalagi korupsi. Penetapan LHI sebagai tersangka dengan demikian menjadi reality check bahwa setiap manusia bisa salah. Karena elit PKS juga manusia, maka adalah kewajiban kader untuk mengawasi dan mengkritisi elit-elitnya.

Ketiga, kasus LHI menawarkan PKS kesempatan bersih-bersih. Inilah ujian sejati bagi PKS sebagai partai yang bersih. Dalam memaknai disonansi “partai bersih tapi presiden korupsi”, PKS bisa memilih jalan “ini semua konspirasi” atau jalan “kita perlu berubah”. Jalan pertama mudah, tapi tidak ada manfaat yang diterima PKS untuk pembenahan internal. Jalan kedua sulit tapi akan produktif bagi perbaikan partai. Sebagai partai yang lahir sebagai partai gerakan yang idealis, tentu kita berharap PKS berani memilih jalan terjal tapi penuh pembelajaran.