Siapa Berhak Kritik Israel?

Lagi, Israel menggunakan sumber daya militernya untuk melakukan apa yang disebut ‘penghukuman kolektif’. Dan, -sama seperti sebelum-sebelumnya- aksi itu diklaim hanya sebagai reaksi atas penculikan dan serangan yang dilakukan pihak militan. Aksi-reaksi, bukankah itu hal biasa dalam dunia konflik? Satu tembakan dibalas dua tembakan, dua nyawa dibalas lima nyawa. Lalu, apa yang istimewa dalam konflik Israel dengan Hizbullah kali ini?

Barangkali, satu hal yang membuat konflik ini begitu abadi dan istimewa adalah tidak seimbangnya kekuatan pihak-pihak yang bertikai. Israel, berkat dukungan berbagai bentuk dari Amerika Serikat dan sekutunya, menjadi begitu kuat. Sedangkan Hizbullah, dapat dikatakan hanya bermodal militansi semata. Roket diperbandingkan dengan pesawat tempur, bom konvensional dengan artileri berat.

Seakan mewakili invincible conflict negara maju sebagai pihak superior dengan dunia ketiga sebagai pihak inferior, konflik Israel berkembang lebih luas dari yang seharusnya. Konflik batas wilayah berkembang menjadi representasi perlawanan terhadap ketidak-adilan dan kebijakan sekutu-sentris negara-negara Barat, dalam hal ini Amerika Serikat. Dan sama seperti berbagai konflik yang melibatkan inferioritas-kompleks lainnya, selalu ada kelebihan toleransi untuk apa yang dilakukan pihak inferior.

Menilik perseteruan terbuka kali ini, semuanya berawal dari aksi militan Hamas menyerang pos militer Israel, dan ‘berhasil’ menculik Kopral Gilad Shalit. Terlepas dari sah-tidaknya serangan ke sebuah pos militer dari pihak musuh, tentu kita semua sepakat tindakan tersebut sangat provokatif. Seperti sudah dapat diduga, Israel membalas dengan lebih keras. Di Front Utara, Gerilyawan Hizbullah mengikuti jejak rekannya di Gaza, menculik dua personil militer Israel. Dan seperti diberitakan dalam berbagai media massa dunia, penghancuran massal oleh Israel pun menjadi tidak terhindarkan.

Komunitas internasional beramai-ramai mengecam tindakan Israel yang dinilai berlebihan, pun berbagai pihak di Indonesia. Pejabat pemerintah, partai, ormas, maupun media massa tidak lupa menjadikan berita ini sebagai nilai jual sekaligus pemikat massa. Kata-kata seperti: ‘mengutuk’, ‘mengecam’, ‘agresor’, ‘tidak beradab’, hingga umpatan emosional dan rasis semacam ‘teroris Yahudi’ seakan tidak terelakkan.

Menyedihkan dan membangkitkan emosi memang, apa yang dilakukan sang superior Israel terhadap objek dan penduduk sipil Libanon. Tapi pernyataan-pernyataan emosional seperti di atas juga sama menyedihkannya. Kita tidak dapat mengecam Israel jika tidak sekaligus mengecam Hamas dan Hizbullah yang melakukan provokasi awal. Pun, kita tidak dapat mengecam Hamas dan Hizbullah begitu saja, tanpa mengecam pula standar ganda dalam politik internasional Amerika Serikat, Israel, dan sekutu-sekutunya.

Memandang tindakan Israel semata sebagai sebuah reaksi tidak dapat menyembunyikan fakta jatuhnya ratusan korban sipil di Libanon. Begitu pula serangan roket Hizbullah yang tanpa basa-basi diarahkan ke sasaran sipil, jelas bukan sebuah bentuk perlawanan yang patut diberikan rasa hormat. Ketidak-adilan dan sikap garis keras di masing-masing pihak jelas memiliki sisi lemah untuk dipersalahkan.

Secara khusus di Indonesia, sangat menarik untuk memperhatikan reaksi beberapa partai politik dan organisasi massa. Jelas sekali sangat mudah untuk mengkritik, tanpa memperhatikan apakah kritik tersebut berlaku pula bagi dirinya. “Israel adalah satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan”, komentar seperti itu tentu tidak asing lagi.

Di sisi lain, tentu kita masih ingat kasus beberapa ormas yang dituding anarkis, yang mengklaim mendapat pembenaran oleh alasan: “karena kepolisian tidak melakukan tugasnya menindak minuman keras, pornografi, dan pelacuran, maka kami yang melakukannya. Ini hanya reaksi atas ketidakmampuan aparat.”. Lalu, apa bedanya reaksi Israel terhadap penduduk sipil Libanon dengan reaksi ormas penentang miras, pelacuran, dan pornografi, yang seringkali anarkis? Keduanya berlebihan, dan keduanya mendapat pembenaran karena klausa prima yang sama, pihak lain melakukannya lebih dahulu.

Sisi tak terjelaskannya adalah, mereka yang mengutuk Israel habis-habisan adalah mereka yang memberikan toleransi lebih terhadap anarkisme sipil. Sebuah bentuk standar ganda ala Indonesia?

Kembali kepada pertanyaan, “Siapa berhak kritik Israel?”. Tentu saja kita semua berhak. Tapi pertanyaannya adalah, ‘pantas atau tidak?’. Tentu tidak dapat diterima akal sehat, bila kita mengutuk reaksi berlebihan Israel, namun menghalalkan anarkisme sipil/ormas. Begitu pula, akan tidak konsekuen bila kita dapat memahami agresisivitas Israel, tapi tidak memiliki simpati terhadap korban kapitalisme dan ketidakadilan global, yang notabene faktor pemicu utama terorisme. Barangkali, hanya mereka yang cukup jujur untuk mengecam baik militer Israel maupun Hizbullah, baik Ehud Olmert maupun Hassan Nasrallah, yang benar-benar pantas melontarkan kecaman dan kritikan.(Nathanael Gratias Sumaktoyo)