You Have to Believe, But You Hate It

“You have to believe it, but you hate it. I don’t have to believe it, and I think it’s beautiful” (Leslie Burke, Bridge to Terabithia)

Sengaja ngutip ucapan Leslie di atas, karena menurut saya isinya dalam banget. Buat yang belum nyambung, atau lupa kapan dialog Leslie seperti itu, coba ingat adegan di atas pick-up setelah Leslie, Jess, dan May Belle pulang dari gereja.

Leslie, yang baru pertama kalinya pergi ke gereja, menganggap semua kisah tentang Yesus (dan pengorbanannya) sebagai sesuatu yang indah dan menarik. ”I’m really glad I came. That whole Jesus thing, it’s really interesting”

May Belle, si kecil adik Jess, justru mengatakan bahwa semua itu menyeramkan. “It’s not interesting, it’s scary!! It’s nailing holes through your hands. It’s cause we’re all vile sinners, God made Jesus die.”

Leslie justru bertanya, “You really think that’s true?”

Dan Jess menjawab dengan jawaban standar seorang Kristen, atau dalam generalisasi, jawaban standar semua orang yang menganut agama yang memiliki Kitab yang dianggap suci. “It’s in the Bible”

Dan terjadilah yang dikutipkan di atas: “You have to believe it, but you hate it. I don’t have to believe it, and I think it’s beautiful”

Tentu saja saya nggak bisa menjustifikasi mana yang lebih baik, percaya atau menganggapnya indah. Tapi sayangnya, lagi-lagi ini bisa berhubungan dengan rasa takut. Rasa takut bisa membuat kita percaya (atau memilih untuk percaya, sama saja). Tapi rasa takut tidak bisa membuat kita melihat keindahan dari sesuatu yang tidak kita pandang indah. Dengan kata lain, percaya dapat dengan mudah ditumbuhkan, rasa takut lebih dari cukup untuk melakukannya. Melihat keindahan, jauh lebih sulit.

Jelas, apa lagi kalau bukan rasa takut yang membuat Jess dan May Belle berkata: ”Cause if you don’t believe in the Bible, God will damn you to hell when you die.” Kalimat standar yang mungkin dikatakan seorang umat beriman pada orang lain yang tidak percaya pada Kitab Suci-nya. Dan sekali lagi, Leslie menunjukkan apa itu keindahan tanpa rasa takut, “I seriously do not think God goes around damning people to hell”.

Pertanyaannya barangkali, sebagai seorang Kristen (atau umat beragama apapun), apakah kita bisa melihat keindahan dari semua yang diceritakan pada kita oleh pemimpin-pemimpin agama dalam khotbah dan dogma? Ataukah mindset kita cenderung menganggap semua ini permainan percaya-tidak percaya: percaya diselamatkan, tidak percaya dihukum berat.

Bila kita menganggap ini adalah sebuah permainan mencari keselamatan, dan bukan pencarian keselamatan itu sendiri, maka selamanya kita tidak pernah beranjak dari konsep dualisme. Karena dalam permainan hanya ada dua pihak, menang dan kalah. Masuk surga berarti menang, masuk neraka berarti kalah. Sebaliknya, dalam sebuah pencarian, yang ada adalah keterbukaan pikiran. Hanya masalah waktu sebelum semua orang menemukan Yang Satu Yang Dicari, everyone should return at last

“I do try to keep an open mind, and you’d be surprised what finds its way in there,” that’s what Ms. Edmunds said.
(Nathanael Gratias Sumaktoyo)