Kebebasan Beragama Pasca-Soeharto

Mei 1998, 22 tahun lalu, Soeharto jatuh dari kekuasaan setelah bertahta selama 32 tahun. Banyak perubahan yang terjadi setelah kejatuhan Soeharto. Sebagian positif, sebagian negatif.

Di antara perubahan yang ramai didiskusikan dan dibicarakan adalah menurunnya kebebasan beragama. Kata sebagian orang, kebebasan beragama di era pasca-Soeharto lebih buruk dari era Soeharto.

Tapi apa benar demikian? Beberapa waktu lalu saya dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina berdiskusi soal ini. Link diskusinya bisa dilihat di sini:

Diskusinya berbasis artikel akademik saya yang baru terbit di Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES).

Versi pre-print, data, dan R code bisa didownload di
http://nathanael.id/publications/

Versi jurnal bisa didownload di
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2019.1661354

PDF dari presentasinya bisa didownload di
https://my.pcloud.com/publink/show?code=XZydJdkZdxEwuoyEpIXCXuIeMOQFfVAXDbhV

Ada dua pertanyaan yang saya eksplor dalam diskusi dan juga dalam paper. Pertama, bagaimana kebebasan beragama Indonesia dibandingkan negara mayoritas Muslim lain? Fokus pertanyaan ini adalah perbandingan spasial. Kedua, bagaimana kebebasan beragama Indonesia sekarang dibandingkan era Soeharto? Sifat pertanyaan ini adalah perbandingan temporal.

Untuk analisis, saya menggunakan data dari Religion and State Project Round 3 oleh Jonathan Fox. Bisa didownload di http://thearda.com/ras. Data mencakup 183 negara dari 1990 – 2014. Saya fokus ke tiga indikator kebebasan beragama: Diskriminasi Negara (State Discrimination), Legislasi Agama (Religious Legislation), dan Diskriminasi Sosial (Societal Discrimination).

Diskriminasi negara (state discrimination) terkait peraturan legal formal yang mendiskriminasi agama minoritas. Misal:
● Larangan kegiatan ibadah
● Larangan bangun rumah ibadah
Total ada 36 indikator Diskriminasi Negara yang ada di dataset dan saya analisis.

Legislasi agama (religious legislation) menyasar produk hukum yang tidak secara spesifik menyasar agama minoritas, tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Misal:
● Aturan penodaan agama
● Aturan ttg pakaian perempuan.
Total ada 52 indikator untuk Legislasi Agama.

Terakhir, Diskriminasi Sosial (societal discrimination) mengukur bagaimana masyarakat itu sendiri mendiskriminasi agama minoritas. Misal:
● Perusakan tempat ibadah
● Pelarangan ibadah oleh ormas
Total ada 27 indikator untuk Diskriminasi Sosial.

Indonesia dibandingkan Negara Muslim Lain

Pertanyaan Pertama: Bagaimana kebebasan beragama Indonesia kalau dibandingkan negara mayoritas Muslim lain?

Kita bisa lihat hasilnya di tiga gambar di bawah. Di tiap gambar, garis tebal solid menunjukkan Indonesia, garis tebal putus-putus menunjukkan rata-rata negara Muslim, dan setiap garis tipis menunjukkan satu negara Muslim.

Dari tiga gambar ini terlihat jelas tingkat Diskriminasi Negara, Legislasi Agama, dan Diskriminasi Sosial Indonesia lebih tinggi dibanding banyak negara Muslim. Di dunia Islam, kita salah satu yang paling restriktif terhadap kelompok agama minoritas.

Mengingat betapa sering elit dan masyarakat kita mengaku toleran, barangkali sudah saatnya kita berhenti mengaku toleran dan mulai belajar untuk benar bersikap toleran.

Indonesia Pasca-Soeharto dan Indonesia Era Soeharto

Pertanyaan kedua, apa kebebasan beragama sekarang lebih buruk dibanding era Soeharto? Apa reformasi memperburuk kebebasan beragama? Saya pakai teknik Synthetic Control Method. Intinya, membandingkan Indonesia sekarang dengan “Indonesia” sintetik yang masih diperintah Soeharto.

Sintetik Indonesia ini dibuat dengan menggabungkan negara-negara lain berdasar kriteria tertentu (detail ada di paper). Kita bandingkan actual Indonesia atau Indonesia yang sebenarnya dengan Indonesia sintetik (Indonesia yang Soeharto tidak jatuh). Perbedaan kedua Indonesia ini adalah estimasi efek kejatuhan Soeharto terhadap kebebasan beragama.

Hasilnya?

Terkait Diskriminasi Negara, tidak ada beda antara Indonesia aktual dengan Indonesia sintetik yang dibuat untuk meniru Indonesia saat ini seandainya Soeharto tidak jatuh. Tapi, Legislasi Agama dan Diskriminasi Sosial meningkat jauh. Kejatuhan Soeharto memperburuk dua hal ini.

Kesimpulan dari dua analisis ini? Pertama, tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia ternyata salah satu yang tertinggi di dunia Islam. Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua pihak. Bila tidak dibenahi, keadaan ini hanya akan memburuk.

Kedua, kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama & diskriminasi sosial. Tidak ada efek terhadap diskriminasi negara. Banyak kemungkinan kenapa legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk sementara diskriminasi negara tidak banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran ormas radikal.

Ormas radikal memperburuk tingkat diskriminasi sosial lewat aksi-aksi persekusi mereka. Ormas-ormas ini juga mempengaruhi kebijakan publik lewat kemampuan mereka memberikan tekanan kepada partai dan politisi. Ormas, dengan massa mereka yang tidak sedikit, dapat menjanjikan hadiah elektoral berupa suara kepada politisi yang mendengar aspirasi mereka. Di saat yang sama, mereka juga dapat memberikan ancaman elektoral kepada politisi yang mengabaikan keinginan mereka atau malah terang-terangan berseberangan dengan mereka.

Kenapa studi ini penting? Studi ini penting karena kita jadi bisa tahu apa yang harus diprioritaskan dalam advokasi kebebasan beragama di Indonesia. Advokasi kita perlu fokus kepada legislasi agama dan diskriminasi sosial. Fokus kepada bagaimana ormas radikal dan konservatif mempersekusi agama minoritas dan memanfaatkan massa untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan intoleran.

Studi ini juga menunjukkan kegunaan koding yang sistematis dalam penelitian kebebasan beragama. Misalnya, peneliti Indonesia bisa menggunakan koding RAS Project untuk mengukur dan membandingkan kebebasan beragama di provinsi-provinsi di Indonesia. Provinsi mana yang paling restriktif dan provinsi mana yang intoleran? Informasi demikian pada akhirnya akan membantu kita membuat skala prioritas dalam advokasi kebebasan beragama.