Negara Preman

Ada satu perbedaan menarik antara hidup dimasa reformasi dengan hidup di jaman Orde Baru. Jika dulu masyarakat menutup mulut rapat-rapat, sekarang yang terjadi justru perlombaan membuka mulut. Satu kecenderungan yang jelas terlihat adalah maraknya aksi-aksi massa. Jika pemerintah menerapkan suatu kebijakan, mereka yang menentang akan mengumpulkan massa dan turun ke jalan. Jika pasangan calon kepala daerah kalah dalam pilkada, mereka yang tidak puas juga akan turun ke jalan.

Aksi massa seakan menjadi senjata ampuh di saat ini, logikanya sederhana saja, yang banyak yang menang. Massa yang banyak seakan meningkatkan posisi tawar bagi tuntutan atau tema yang diusung. Seakan bukan hal yang penting, apakah tuntutan tersebut relevan dan berguna bagi masyarakat umum atau tidak, yang penting adalah banyaknya massa yang datang.

Kecenderungan penggunaan massa ini rupa-rupanya dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa pihak. Berdirilah organisasi-organisasi kemasyarakatan dengan berbagai latar belakang, bahkan dengan mengusung tema suku dan agama. Masyarakat seakan terkotak-kotak oleh ormas-ormas tersebut. Ormas berbasis suku selalu mengatakan aspirasi mereka mewakili suku-nya, ormas berbasis agama selalu mengatakan mereka mewakili agamanya dan yang dibela adalah Akidah Allah.

Aparat yang Lemah dan Permisif
Organisasi kemasyarakatan dan adanya kebebasan berpendapat merupakan hal yang penting dan esensial bagi perkembangan demokrasi. Namun, satu hal yang perlu diingat adalah proses pengekspresian pendapat itu jangan sampai merugikan masyarakat luas atau kepentingan umum. Sebagai negara yang baru merasakan demokrasi kira-kira enam tahun, pengekspresian pendapat yang normatif tentunya masih merupakan sebuah angan-angan di Indonesia. Tidak jarang, bahkan hampir selalu, aksi massa berujung pada anarkisme.

Pertanyaan yang tersisa adalah,’dimana aparat keamanan?’. Kita tentu tidak mengharapkan polisi yang keras dan represif seperti di masa lalu, namun tentu lebih tidak diharapkan apabila negara ini menjadi negara tanpa hukum, bila hanya hukum rimba yang berlaku, yang kuat dan yang banyak dia yang menang.

Ketidaktegasan aparat terlihat dengan jelas dalam berbagai kasus. Kasus pengrusakan kompleks milik warga Ahmadiyah, kasus penutupan gereja-gereja, kasus penutupan dengan kekerasan tempat-tempat yang dianggap maksiat, dan berbagai kasus lain yang rupa-rupanya dilakukan oleh organisasi massa yang notabene mengandalkan jumlah massa dan mengesampingkan upaya hukum legal.

Sangat ironis ketika kita melihat tindakan yang dilakukan aparat terhadap aksi-aksi mahasiswa atau aksi-aksi anti penggusuran. Pak Polisi yang ‘lembek’ menjadi trengginas, tangkas, dan tidak lupa, ganas. Mengapa aparat keamanan kita bisa diskriminatif seperti itu? Apa yang salah? Sebagai pelindung dan penegak aturan, seharusnya aparat keamanan tidak pilih-pilih kasih. Aturan seharusnya ditegakkan kepada semua orang, lapisan, dan golongan. Hukuman dan tindakan tegas seharusnya diberikan kepada mereka yang nyata-nyata melakukan penghakiman sepihak menurut hukum yang mereka buat sendiri, mereka yang dengan aksi massa-nya kerap menebarkan perasaan tidak nyaman dalam masyarakat.

Negara ini bukan negara tanpa hukum, negara ini –sampai saat ini- belum sah menjadi negara preman, negara ini –masih- memiliki aparat penegak hukum. Para founding fathers tidak mendesain negara ini untuk dikuasai para preman, yang mengandalkan massa untuk mendominasi golongan lain. Sampai saat ini negara ini masih negara hukum dimana semuanya harus berlandaskan kepada hukum positif, dan pelaksanaannya dipercayakan kepada mereka yang dinamakan aparat penegak hukum.

Pemerintah dan Aparat yang Kuat
Bangsa ini mungkin melupakan, bahwa demokrasi tidak melulu kebebasan berpendapat atau kebebasan mendirikan organisasi. Demokrasi juga berarti menghargai perbedaan serta memerlukan pemerintah dan aparat yang kuat. Kuat bukan untuk menekan rakyatnya, namun untuk dengan tegas menjaga agar semuanya tertib dalam koridor hukum dan konstitusi, serta bukan merupakan eforia massa belaka.

Pemerintah atau aparat yang lemah akan sangat sulit mengontrol masyarakat, ada hukum, tapi tidak ada yang menegakkan. Negara dalam anarkisme. Sebaliknya, pemerintah dan aparat yang kuat dan tegas akan mampu melakukan penegakan hukum dengan baik, bebas dari intervensi kelompok manapun, tidak takut terhadap tekanan dalam bentuk massa.

Demokrasi memang memerlukan proses belajar, namun sayangnya dalam hal ketegasan aparat bangsa ini rasanya tidak pernah memulai proses belajarnya. Bagaimana bisa polisi membiarkan di depan mata kasus-kasus sarat anarkisme seperti Kasus Ahmadiyah berlalu tanpa tindak lanjut memadai? Aparat keamanan seakan menjadi ciut nyalinya jika harus menghadapi aksi massa terorganisir berbasis agama, takut dosakah? Atau takut dengan jumlah massa-nya?

Sangat menyedihkan memang jika melihat aparat keamanan kita menerapkan standar ganda seperti itu, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ketegasan membutuhkan langkah pertama yang pasti sangat sulit.

Ketegasan yang Dinanti
Satu hal yang dibutuhkan pemerintah saat ini adalah ketegasan. Ketegasan untuk menegakkan hukum, ketegasan untuk menjatuhkan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum, ketegasan untuk melakukan penegakan hukum kepada semua kelompok dan golongan.

Ketegasan tidak selalu berarti kekerasan. Tindakan represif sebisa mungkin harus dihindari, namun penegakan hukum jelas jauh lebih penting daripada pro-kontra tentang represif atau persuasif. Aparat yang tidak tegas, bingungan, dan plin-plan hanya akan membawa masalah baru. Hukum akan disepelekan, dan masyarakat secara perlahan akan menerapkan hukum paling primitif, siapa yang kuat dan banyak dia yang menang.

Sebagai negara yang berdaulat dan memiliki segala kelengkapan dan perangkat hukum, bangsa ini seharusnya tidak menyerah kepada segelintir orang yang membawa eksklusifitas nama agama atau suku. Aparat yang tegas sangat diharapkan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Aparat yang tegas adalah aparat yang tidak takut kepada kekuasaan, tekanan pihak luar, dan juga tidak takut kepada tekanan massa atas nama agama atau golongan.