Panggilan
Dalam masyarakat Katholik, kata ‘panggilan’ barangkali kata yang sangat umum. Ada Hari Minggu Panggilan, ada Doa Mohon Panggilan, tidak ketinggalan pula program Retret Panggilan, yang semuanya secara ajaib terasosiasi dengan sekelompok orang penerima tahbisan. Pastor, biarawan, dan biarawati.
Asosiasi ini sudah sedemikian melekat dalam pikiran, sehingga seakan membayangi beberapa makna lain dari kata ’panggilan’. Di antara banyak makna yang tenggelam dari kata ’panggilan’, barangkali pernikahan yang paling menarik untuk dibicarakan. Tulisan ini pun hendak menyoroti hal tersebut. Bukan dimaksudkan sebagai kritikan terhadap pernikahan, bukan pula sebagai khotbah panggilan, hanya mengajak untuk melihat pernikahan sebagai panggilan yang bersebelahan, sejajar dengan tahbisan.
Sudah menjadi pola pikir umum bahwa pernikahan adalah hal yang wajar bagi seorang pria atau wanita. Pilihan default, yang katanya sudah dari sananya. Pola pikir demikian tentu beralasan, karena memang kita dilahirkan dari orang tua yang diikat dalam hubungan bernama pernikahan. Kita pun, pada akhirnya, seringkali dituntut untuk punya pacar, menikah, dan punya anak. Tentu saja dengan beragam alasan, mulai dari meneruskan nama keluarga, memberi cucu, dan berbagai alasan lain yang semuanya bermuara pada sebuah pola pikir paling umum di dunia, menghasilkan keturunan.
Berbekal pandangan tentang pernikahan itu, kita kemudian merancang istilah khusus, tepatnya istilah umum dengan makna khusus, untuk menjelaskan aspek yang menarik segelintir orang untuk hidup selibat dan secara khusus melayani Tuhan. Seperti sudah bisa diduga, istilah itu adalah panggilan. Disinilah kesalahan logika itu dimulai.
Memandang panggilan dengan cara demikian, membuat kita secara tidak sadar memberikan penilaian jalan hidup normal-tidak normal. Hidup menikah, berkeluarga, memiliki anak dipandang sebagai hidup yang normal dan by default merupakan hal yang seharusnya bagi seorang manusia. Namun, hidup normal itu harus ditinggalkan bila Tuhan memanggil. ’Panggilan’, dengan kata lain adalah sebuah jalan hidup yang menyimpang dari normal.
Hal ini menggelikan karena bila sedikit saja dipikir lebih jauh, tidak ada yang namanya jalan hidup default. Baik tahbisan maupun pernikahan keduanya harus dipandang sebagai panggilan. Apabila jamak ditemui doa mohon panggilan, atau keadaan dimana seseorang merasakan panggilan untuk menjadi pastor, biarawan/biarawati, demikianlah keadaan serupa juga harus ditemui terkait pernikahan. Orang terlebih dahulu harus merasakan panggilan yang kuat untuk menikah, sama seperti seorang calon tahbisan merasakan panggilan kuat untuk menerima tahbisannya.
Dan panggilan pernikahan disini sama sekali jauh dari unsur seksualitas, karena seks tidak pernah merupakan bentuk panggilan terhadap pernikahan. Demikian pula, pernikahan tidak dapat dipandang sebagai usaha mendapatkan seks yang halal atau sah. Panggilan tidak pernah dapat dirasakan bila kita masih terlalu sibuk mengerjakan sesuatu yang –kita pikir- merupakan panggilan kita. Demikian pula, pernikahan -barangkali- bukan menjadi panggilan sejati kita, bila kita tidak pernah benar-benar bertanya tentang tujuan hidup kita sebenarnya.
(Nathanael Gratias Sumaktoyo)
—VOCATION…… one word with two choices…two choices here related to marriage state and religious state…
Religious state,
for the priesthood,a seminarian will never know until the Bishop ordains him to the priesthood by annointing his hands and make ’em sacred hands,that wot a vocation is for the priesthood
For the brotherhood & sisterhood,simply when they vow the three vows in front of the Blessed sacrament
Marriage state….
is it simply sexual desire to be fulfilled?? or just for the sake of his/her descendant?…..or love to be united by the grace of God??
Nathanael Gratias??…. I’m still in between.. a really tough job to choose one of em…
ur writing quite sensational…not every stuff u can think with logic…There’s Divine Istitution….
heheheheh gwe temen SMP loe…inget gak???
Christian warella
weitz,
sory gw lupa christian yang mana ya ini? gw inget beberapa christian tapi nama belakang warella gw nggak inget sama sekali 🙂
Hai, aku erik. aku mau gabung ngobrol, sambil cari teman. Blogmu ini kayaknya bagus dan kamu nampak sebagai orang muda yang cerdas.
Nathan, kamu cerita tentang biarawan biarawati katholik, kamu ini katholik ya? Sama donk.
Kamu cerita tentang panggilan, aku jadi tertarik juga nih. Dulu, aku kepingin jadi pastor, tapi sekarang niat itu sudah tidak jadi, malah adikku yang jadi frater, moga dia sukses jadi pastor nanti. Aku sekarang berpikir mau menikah saja, sekarang masih jomblo, moga Tuhan berikan aku kekasih yang baik hati untuk jadi istriku nanti.
Nathan, kalo aku pikir2, mau jadi pastor atau hidup berkeluarga sama saja. Dua-duanya adalah panggilan. Dua-duanya sama-sama berharga di mata Tuhan. Aku juga ngga nyesel gak jadi pastor / Romo. Kayaknya aku terpanggil untuk menjadi Ayah yang baik bagi anak-anakku, suami yang baik bagi istriku dan jadi kepala keluarga yang takut akan Tuhan dan dapat menjadi berkat bagi masyarakat sekitarku, lingkungan, paroki dan gereja. Ya, namanya juga harapan, tapi bener, aku ingin membentuk keluarga. Setahu aku, keluarga adalah soko guru negara, dalam arti khusus lagi, keluarga adalah soko guru gereja. Kalo keluarga-keluarga di indonesia berantakan, maka hancurlah negara ini. Demikian juga dengan gereja. Jadi keluarga sangat penting, terutama pada pendidikan anak-anak yang merupakan tugas dan tanggungjawab orang tuanya. Orang tua harus menanamkan disiplin pada anak-anaknya dengan Kasih. Orang tua harus mendidik anak sesuai ajaran agama masing-masing di negara ini. Khususnya dalam hal iman katholik, orang tua harus mendidik anak-anak sesuai ajaran agama katholik, Cinta pada Tuhan Yesus, Bunda Maria dan gereja katholik, orang tua harus mengajarkan anak-anaknya dengan kebenaran Injil.
Supaya keluarga bisa tangguh, kokoh, ya perlu persiapan yang matang, gereja juga harus terlibat mendukung. Setahu aku, di tiap-tiap paroki ada kursus pra-perkawinan dan konseling keluarga. Nanti kalo aku mau nikah, pasti diharuskan ikut kursus, kamu juga pasti.
Eh, ngomong-ngomong kamu mau jadi pastor atau hidup berkeluarga? ngga usah pusing, biar Tuhan yang panggil kamu mau bagaimana nanti.
Oya, nathan. diatas kamu cerita juga tentang seksualitas. Aku rasa itu adalah hal yang penting. Memang, intisari panggilan berkeluarga bukan melulu soal seks legal, tapi ingat sabda Tuhan di dalam Injil / Alkitab bahwa laki-laki dan perempuan yang masuk dalam perkawinan bukan lagi dua tetapi satu ( jiwa, raga/daging, dan semua komitmen mereka ), dan apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Soal seks, kalo dua orang calon yang akan menikah ketahuan tidak memiliki ketertarikan secara seksual satu dengan lainnya, pasti rencana pernikahan mereka dibatalkan oleh romo paroki setempat.
Kira-kira bagitu komentar ku.
Banyak juga ya tulisanmu, wah bisa nambah wawasan nih. Oke, nanti aku baca-baca tulisanmu yang lain deh.
Thanks, sampai nanti.
memang kata panggilan itu umum sesuai dalam artikel anda !
tapi ndk panggilan itu bermakna sesuai situasi atau bagai mana orang mengartikannya gak ?