Konvensi Demokrat dan Isu Minoritas

http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=10362&cHash=1

Menyambut pemilu 2014, Partai Demokrat menyelenggarakan konvensi untuk memilih calon presidennya. 11 Peserta konvensi telah diumumkan. Ketua umum partai, Susilo Bambang Yudhoyono, pada awal Juli juga telah menetapkan bahwa pemenang akan ditentukan bukan oleh segelintir elit, tapi oleh survei opini publik. Penggunaan survei ini diharapkan dapat membuka mata partai terhadap sentimen masyarakat dan meningkatkan elektabilitas calon dari Demokrat.

Banyak yang meragukan efektivitas dan intensi konvensi Demokrat tersebut. Beberapa pengamat memandang konvensi hanyalah usaha Demokrat untuk secara instan mencari tokoh. Pengamat lain menilai konvensi sebagai upaya membangun citra partai. Karena konvensi merupakan tradisi yang baru di Indonesia, cukup sulit menilai seberapa terbuka dan serius Demokrat akan menjalankan konvensinya. Namun demikian, bukan berarti kita tidak bisa menetapkan kriteria-kriteria sebuah konvensi terbuka dan melihat seberapa dekat konvensi Demokrat dengan kriteria tersebut. Sejarah panjang konvensi partai di Amerika memberikan kita setidaknya satu indikator penting untuk menilai apakah suatu konvensi benar terbuka atau hanya drama politik.

Konvensi pada dasarnya adalah usaha mengurangi pengaruh elit dan membuka partai terhadap suara pengurus yang lebih rendah dan aspirasi publik. Tujuan utama peserta konvensi dengan demikian adalah menjaring simpati publik serta akar rumput partai dan bukan mengamankan dukungan elit. Sebagai entitas yang lebih besar, aspirasi publik tentu akan lebih beragam baik dalam jenis isu maupun spektrum politik dibandingkan aspirasi elit. Sekalipun elit tidak menganggap penting suatu isu, pasti ada kelompok masyarakat yang menganggapnya penting.

Biarpun elit menginginkan posisi tengah dalam suatu isu, akan ada kelompok yang mengharap partai untuk terang menolak atau mendukung isu tersebut. Implikasi penting variabilitas aspirasi ini adalah bahwa sebuah konvensi terbuka haruslah mendorong para pesertanya untuk mengambil posisi berbeda dalam berbagai isu.

Terkait dorongan untuk mengambil posisi berbeda dalam berbagai isu ini lah relasi konvensi Demokrat dengan isu minoritas menjadi jelas. Karena isu minoritas adalah isu publik, masyarakat berhak berharap konvensi akan menyinggung pula isu-isu seperti Ahmadiyah, Syiah, problematika gereja, atau ormas radikal. Para peserta konvensi pun sewajarnya akan mengambil posisi bervariasi terhadap isu-isu tersebut. Sebagian akan mengambil posisi diplomatis yang aman, sebagian menganggapnya tidak penting, dan sebagian yang lain akan mengambil posisi lebih tegas.

Akibat dari penggunaan survei sebagai kriteria kemenangan, posisi apapun yang diambil peserta bertujuan bukan untuk menarik simpati elit Demokrat tapi untuk menarik dukungan publik. Dalam hal ini, peserta konvensi yang menolak bersikap tegas dalam isu, misalnya, Ahmadiyah dan Syiah berharap posisinya itu akan menarik simpati masyarakat yang menganggap dua kelompok tersebut tidak layak dilindungi. Sebaliknya, peserta yang menjanjikan perlindungan minoritas berharap untuk menarik hati mereka yang kecewa dengan keadaan saat ini.

Menariknya, semakin kecil peluang menang seorang kandidat, maka semakin besar kemungkinannya untuk mengambil posisi tegas dalam isu kontroversial. Kandidat-kandidat yang sulit menang ini tahu bahwa mereka tidak bisa mengandalkan massa tradisional partai. Pilihan yang logis bagi mereka dengan demikian adalah menarik massa luar partai dengan memakai isu yang diabaikan oleh kandidat yang lebih kuat. Konsekuensinya, apabila konvensi Demokrat sungguh memberikan kebebasan bagi setiap kandidat untuk menang, kita akan melihat kandidat yang kurang didukung massa Demokrat bersikap lebih tegas dalam isu-isu kontroversial, termasuk isu perlindungan minoritas, dalam rangka menarik simpatisan non-Demokrat.

Hal ini tidak baru sama sekali dan hampir selalu terjadi dalam konvensi partai di Amerika. Pada tahun 1972, George McGovern memenangkan konvensi Partai Demokrat (Amerika) meskipun ia bukan figur yang popular. Ia menarik simpati pemilih liberal, yang berada di luar struktur Demokrat saat itu yang konservatif. Strategi yang sama (meskipun berakhir kegagalan) juga diterapkan pada konvensi Partai Republik tahun 2012 antara lain oleh Ron Paul yang membawa perspektif cukup liberal ke dalam massa Republikan yang konservatif.

Variasi kandidat dalam isu minoritas sebagai indikator keterbukaan konvensi Demokrat tidak berarti bahwa kandidat yang berjanji melindungi minoritas harus menang agar konvensi terbukti benar terbuka. Bisa terjadi konvensi berlangsung terbuka namun tetap kandidat yang terpilih adalah kandidat yang ambivalen terkait minoritas. Pertanyaan utamanya bukan siapa yang akan menang, tapi apakah posisi peserta konvensi dalam berbagai isu cukup variatif untuk menunjukkan bahwa yang coba mereka rangkul adalah khalayak luas dan bukan para patron partai.

Apakah konvensi Demokrat dapat memenuhi kriteria paling mendasar ini masih harus kita lihat.

Penulis adalah mahasiswa doktoral bidang politik Amerika di University of Notre Dame dan analis musim panas pada kantor pusat Kampanye Kepresidenan Barack Obama 2012.